Serum-serum itu diperbanyak dan dimasukkan ke dalam dart suntikan untuk memulihkan zombies. Dart-dart yang terisi dimasukkan ke dalam tas ransel prajurit-prajurit yang tersisa. Panglima Dindin telah mendapatkan laporan jika kekurangan tentara dan polisi untuk aksi penyelamatan itu.
Di seluruh wilayah kekurangan prajurit karena sebagian besar telah menjadi zombie dan banyak pula yang telah tewas akibat serangan. Tersisa seperempat tentara dan polisi saja. Mereka tidak akan sanggup menembakkan dart-dart serum arame seluruh Zombies yang berkeliaran menguasai jalanan.
Dokter Puput melihat ke luar di mana banyak tenda-tenda darurat dengan orang-orang yang terlihat gusar, ketakutan dan anak-anak muda yang mulai bosan. Tiba-tiba, Bima terkekeh di samping Dokter Puput. Ia memiliki ide yang mungkin tidak bagus, tetapi cukup efektif untuk sekarang.
“Apa aku tidak salah membaca pikiranmu? Kamu akan meminta mereka mengangkat senjata?” sergahnya.
“Apa boleh buat.”
“Bim-bima!” pekik Dokter Puput yang merasa ide itu sedikit gila.
Bima mendekati Komandan dan memberitahukan idenya agar menggunakan anak-anak muda yang menganggur itu untuk membantu. Anak-anak akan diajari cara menembak secara instant dan akan selalu berada dalam perlindungan. Mereka juga akan ditempatkan di gedung-gedung yang aman dan tinggi, sehingga tak akan menghadapi zombies secara langsung.
Ide yang dikemukakan Bima segera disetujui oleh Jenpol Sigit Binomo. Atasannya itu segera merapat dan melapor ke Panglima TNI dan Pak Menteri untuk menyetujui dan memberi perintah secepatnya. Pemberitahuan pun langsung dilakukan oleh beberapa Tamtama di depan pengungsi.
“Perhatian-perhatian!” ujar Tamtama dengan pengeras suara. Semuanya bergerak mendekati suara keras yang terdengar.
“Kami memerlukan prajurit tambahan, untuk melakukan penyerangan kepada zombie-zombie itu. Bagi laki-laki yang berusia di atas 18 tahun diharapkan bisa bergabung,” ungkapnya.
“Apa kalian akan membunuh makhluk-makhluk itu?” tanya seorang pengungsi.
“Tidak. Kami hanya akan menembakkan serum ke tubuh mereka untuk mengembalikannya seperti semula,” jelasnya. Pengungsi yang bertanya itu cukup puas dengan jawabannya, ia mengangguk-angguk.
“Baiklah ada lagi pertanyaan?”
Semua orang saling melihat ke samping, ke belakang mencari orang-orang yang bersedia untuk membantu. Namun, tidak ada yang bergerak maju ke depan dengan sukarela mengajukan diri. Tiba-tiba, Manu mendekat bersama dengan teman-temannya yang mendekati kerumunan.
“Gw baru 17 tahun, apa boleh ikut?” tanya Manu mengangkat tangan.
“Apa alasanmu ingin bergabung?”