Z FLAKKA 20

Adine Indriani
Chapter #36

#KENORMALAN

Setelah dunia dilemahkan bahkan dihancurkan oleh virus misterius buatan ilmuwan dan berjuta-juta manusia menjadi korban. Maka hanya satu dalam benak masing-masing orang yaitu ingin kembali ke kehidupan normal. Padahal, hal yang normal sebelumnya sangatlah tidak berarti ketika semua orang ingin selalu lebih dari biasanya. Tidak ada yang normal di dunia ini, hanya sebagian besar atau kebanyakan dari mereka.

Ketika dunia ini damai, semua berlomba-lomba ingin menjadi pemenang. Merasa lebih hebat ketimbang lainnya dan saling menghancurkan demi kepentingan sendiri. Dan, ketika dunia diserang oleh musuh yang sama, membuat kesadaran itu muncul. Betapa, kedamaian saat kenormalan itu bermakna. Betapa, tidak normalnya ketika kedamaian itu direnggut oleh ambisi untuk menghancurkannya.

***

Dua tahun kemudian.

Sejak terjadinya pembunuhan, penyerangan, upaya penghancuran atau konspirasi yang dilakukan oleh dua kartel narkoba yang termakan oleh rencana busuk Amerika, dalang di belakang semuanya dengan virus mematikan yang memang diciptakan untuk memusnahkan manusia di suatu negeri. Kendatipun, Pemerintah USA tetap saja menyangkal keras jika mereka dituduh yang memprakarsai semuanya.

Tak disangka kehancurannya cukup signifikan yang berdampak di beberapa negara ASEAN. Namun, usaha itu dianggap gagal dikarenakan Indonesia mampu menemukan serum penawarnya, meskipun tak sanggup menyelamatkan semua yang telanjur terbunuh setelah terinfeksi virus tersebut sebelum adanya anti flakka 20.

Selama dua tahun pula, negeri ini berupaya bangkit dari keterpurukan. Dan, sendi-sendi kehidupan, di segala bidang mulai kembali normal. Sebuah negara yang besar tak akan goyah ketika diterjang badai besar. Tak ada kapal besar, yang berombak landai. Dan terbukti, negara ini bisa melewatinya dengan baik.

***

Di sebuah kafe tempat muda-mudi menikmati kopi, di waktu luang, bersama teman sejati. Menciptakan kenangan bersama, merangkum hari ke hari yang indah, berjalan di antara kerumunan yang menjadi pemenang dalam tongkrongan sopan. Dunia kembali damai setelah badai besar, berhasil dilalui dengan berani bukan pecundang. 

Gogo yang pertama kali sampai di kafe itu, meletakkan tas selempang di bangku dan mendekati meja pemesanan. Ia memesan beberapa menu es kopi dan kudapan. Tak lama, Denaya sampai di depan pintu kafe. Ia celingukan mencari teman-temannya. Tak berbeda jauh sejak kelulusannya dari sekolah menengah atas dua tahun lalu, ia tetap gadis tercantik.

“Dena,” panggil Gogo sambil melambaikan tangannya. Ia menunjukkan meja yang sudah dipilihnya duluan. Denaya menyambutnya dengan senyuman dan melangkah ke meja itu untuk meletakkan tasnya yang penuh buku. Gogo dan Denaya memilih untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. 

Meskipun berbeda jurusan, keduanya satu kampus di Universitas Negeri Jakarta selama setahun belakangan. Selama satu tahun negara ini berusaha pulih dari kehancuran di mana-mana, selama itu pula mereka tidak bisa meneruskan Pendidikan. Namun, setelah itu mereka bisa melakukan apapun, meskipun perbaikan terus dilakukan sambil jalan.

Denaya tertarik mempelajari psikologi, sedangkan Gogo mengikuti pilihan orang tuanya untuk belajar bisnis. Keduanya kembali ke meja dan mengobrol sambil menunggu pesanan dibuat. Tak lama, pesanan itu selesai, nama Gogo dipanggil. Denaya membantu Gogo membawakannya.

Lalu, Yoga datang dan memanggil Gogo dan Denaya dengan gaya khasnya yang ceplas-ceplos. Ia bekerja di bengkel milik Ayahnya dengan suka cita. Memodifikasi motor memang impian besarnya sejak lama. Ketiganya menikmati es kopi sambil bercengkrama menanyakan kabar masing-masing.

“Manu sama Gunawan, mana?” tanya Denaya.

“Deuuh … sebenarnya mau tanya yang mana sih, Neng. Manu apa Gunawan?” ledek Gogo sembari menggigit croissant coklat sesuap penuh. Remahan renyah berjatuhan di meja dan di atas permukaan es kopi miliknya.

“Dua-duanya-lah … emangnya siapa gw?” dalih Denaya beralasan.

“Iya-iya, masih aja malu-malu, udah ketebak sama kita, ya enggak Yo,” goda Gogo terus meledek Denaya.

“Hmm,” timpal Yoga mengangguk-angguk santai sambil meneguk es kopi.

“Go, lu lemes amat sih, bisa diem enggak!” protes Denaya sambil menyubit lengan Gogo.

“Astaga, cubitan lu pedes amat. Ntar gw bongkar nih!” ancam Gogo terus menggoda.

Lihat selengkapnya