Zachariel

Davian Mel
Chapter #3

Part III

Dulu Zachariel menemukan Leon di sebuah planet yang bintangnya akan padam. Seekor makhluk berkaki empat dengan sayap yang membentang, bermoncong ganas dengan taring yang tak bersahabat. Saat pertama Zachariel menemukannya, makhluk itu nyaris berada pada ujung takdirnya. Seperti bintang yang menyala terang dan menunggu masanya untuk padam berpulang, Leon pun nyaris demikian. Liurnya dan suara kaingnya menandakan ajal akhir dari hewan tersebut, membawa rasa iba Zachariel dan ia memohon kepada-Nya agar bisa membawanya dan meneruskan takdir bersamanya di Surga.

Terkadang ketenangan Surga diusik oleh suara langkah Zachariel dan Leon.

Seperti yang dilakukan setelah murka-Nya kembali tenang, langkah kaki Zachariel dan Leon lah yang menjadi sumber keributan itu. Keduanya berlarian saling berkejaran, melewati ambang batas panas dan dingin, terang dan gelap, menyelami seluruh spektrum warna, dan bersatu dengan seluruh elemen yang berada di sana. Dua prajurit malaikat yang merasa terganggu dengan suara itu saling berpandangan, membentangkan sayap dengan maksud mengejar Zachariel dan mengajari malaikat muda itu untuk tenang dan mendisiplinkannya.

"Zachariel!"

Saat itu ia berada pada elemen bewarna hijau dengan dedaunan dan pohon mengitari mereka. Tidak gentar mendengar seruan yang menyebut namanya dengan galak, Zachariel memerintahkan Leon untuk terus berlari melewati sela-sela pohon seraya tertawa. "Ayo Leon! Jangan biarkan mereka menangkap kita!" dan kaki-kakinya yang kuat menghentak pada dasar Surga untuk menambah kecepatan larinya.

Elemen selanjutnya berpindah pada sebuah hamparan warna yang lebih terang dan menghilangkan pepohonan, dengan desauan angin yang menerbangkan pasir, dan membuat tawa Zachariel tersedak oleh elemen tersebut. Pendengarannya menangkap suara kepakan sayap kedua prajurit malaikat yang semakin mendekat. Sedangkan hentakan kakinya menggesek pada pasir, menerbangkan elemen itu di sekeliling para malaikat yang mengejarnya, membuat pandangan keduanya labur oleh titik-titik pasir tersebut. Namanya disebut untuk membuat Zachariel semakin gentar.

"Berhenti kau biang onar!"

Tidak ada yang membuat Zachariel tertawa lebih senang mendengar serapahan tersebut. "Kalau kalian lelah, kalian saja yang berhenti mengurusi urusanku!" serunya lebih pada Leon yang masih berlari di sebelahnya.

"Oh Demi Tuhan, kau seharusnya malu membuat kegaduhan di sini..."

Zachariel menyeringai pada dua malaikat di belakangnya. Kesadarannya yang penuh untuk meledek berubah karena ia terlambat menyadari bahwa perlahan elemen di sekitarnya tergantikan. Dasar Surga dalam bentuk pasir di hadapannya menjadi udara kosong, membentuk sebuah jurang sedangkan kepanikannya tidak sempat mengerem hentakan kakinya. Sensasi jatuh ia rasakan saat hentakan pada kaki kanannya menyentuh udara. Gravitasi menarik Zachariel dan Leon, sedangkan cemoohannya berubah menjadi sebuah teriakan untuk melepaskan gejolak jatuh yang terasa di dalam dirinya. Kedua kakinya yang tak memijak apapun bergerak-gerak mencari pijakan, namun kakinya hanya menemukan udara kosong yang ia tak tahu dasarnya sampai ke mana.

Dalam keadaan seperti itu, Zachariel tidak terpikir untuk membentangkan sayapnya.

Selanjutnya sebuah dasar ia rasakan dalam debaman pada sebuah permukaan lembut yang menerbangkannya. Suara sayap kedua malaikat yang sedari tadi mengejarnya berubah menjadi kepakan megah sayap Leon yang membawa Zachariel pada horizon Surga yang tidak terbatas.

"Terimakasih, teman..." ujarnya pada Leon, dan ia menoleh ke belakang. Kedua prajurit malaikat rupanya enggan mengejar Zachariel, membiarkan malaikat muda itu pergi membelah elemen yang ada padanya. Karena yang mereka inginkan adalah keheningan. Bukan suara ribut dari kaki Zachariel yang membahana.

"Para makhluk yang membosankan," keluhannya pada Leon karena rasa bosan yang sering kali menyelimutinya jika ia berada di tengah-tengah malaikat yang lebih senang pada keheningan. Walaupun Zachariel sebenarnya sadar, mereka jauh lebih damai pada ketenangan. Karena Surga akan mulai meronta jika murka-Nya kembali mengguncangkan tahta-Nya di atas sana. Serta merta ia sendiri bertanya-tanya, apa yang membuat Tuhan akhir-akhir ini menumpahkan amarah-Nya?

Sedangkan ia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Kemarahan-Nya dikarenakan sebuah Planet Bumiā€”sebuah planet bewarna biru yang menyimpan semua kemegahan Surga. Miniatur Surga yang menyimpan buah, hewan, spektrum warna, dan seluruh elemen yang tidak ada di planet-planet lainnya. Namun ada satu hal yang belum pernah Zachariel ketahui, ada satu hal selain kenikmatan Surga yang mampu menggetarkan tahta-Nya akan sebuah kemarahan.

"Kau pernah mendengar soal Planet Bumi, Leon?" tanya Zachariel, dan tak ada jawaban dari binatang peliharaannya, selain auman pelan sedih di tengah kepakan sayapnya yang menyatu dengan udara.

"Di sana ada sesuatu yang tidak disukai Michael karena membuat Tuhan marah," Zachariel terus berbicara. "Membuatnya marah dan menyuruhku untuk tidak ikut campur." Dan ia teringat nyala terang pedang Tuhan yang terpasang di belakang sayap Michael saat Zachariel mempertanyakan soal Bumi. Sedangkan membuat kakaknya marah menjadi hal terakhir yang tidak akan Zachariel lakukan, selain membuat Tuhan marah tentunya. "Aku penasaran ada apa di sana. Apa menurutmu suatu hari aku bisa ke sana sendirian tanpa sepengetahuan siapapun?"

Lihat selengkapnya