Zaezaezoziezas

Hary Silvia
Chapter #1

Wanara yang Berarti Kera

Wanara. Yang berarti kera. Yang oleh Mama dijadikan nama. Nama manusia. Manusia yang muncul dari liang Mama, sesudah sembilan bulan memboboti perutnya. Akulah manusia itu. Papa dan Mama menyapaku, Wawa. Calon adikku nanti memanggilku Mbak Wa.

“Wawa” juga keluarga kera. Tangannya panjang namun ekor ia tidak punya. Bunyinya wau wau wau. Jadi, baik nama lengkap maupun nama panggilan, semuanya mengandung kera. Aku kera sejati. Jangan salah paham, aku tidak bangga disebut-sebut kera sejati. Justru sebaliknya, aku murung.

Mama tidak merenung sewaktu memberi nama. Sekejap Mama terinspirasi, begitu bulu-bulu lebat mukaku didekatkan padanya. Bulu-bulu hitam yang memutari muka. Dari kening, pelipis kanan, pipi kanan, dagu, pipi kiri, pelipis kiri, balik ke kening. Leher dan kedua tangan ditaburi bulu-bulu juga, tapi tidak selebat muka. Papa setuju-setuju saja dengan “Wanara”. Meskipun Mama sambil marah-marah ketika mencetuskan nama, Papa manut-manut saja. Tampaknya Papa suka memilih jalan gampang. Mendebat Mama sama dengan menemui jalan yang sulit, makanya Papa tidak melewatinya.

Papa tersenyum, pamit pada bidan klinik Jakarta Timur yang sudah menolong persalinan. Aku ada di gendongan Papa karena Mama beralasan lelah. Akan tetapi, kaki-kaki Mama melesat jauh ke depan. Sementara Papa dan aku lelet di belakang. Sepatu Papa bergemeletak, memukul lantai putih kotak-kotak. Aku pulas. Sama sekali tidak terganggu suara kaki Papa. Hanya Mama yang terganggu. Tetapi bukan karena sepatu Papa. Bulu-buluku penyebabnya.

Di mobil, Mama menyamai diamku. Obrolan Papa tidak dibalas sepatah pun. Papa menoleh, memeriksa Mama tertidur atau tidak. “Ditahan dulu ya ngantuknya, sebentar lagi kita sampai.” Papa tampaknya mencemaskan aku yang menguap dalam dekapan tidak niat Mama.

Kelahiran adikku adalah penghiburan bagi Mama. Di dua tahun kemudian, sehabis aku ada. Mama terlampau serius memikirkan nama. Berbeda jauh, kelakuan Mama padaku dulu. Sehari, selepas adikku sampai rumah, Mama masih memanggilnya, Sayang. Belum pernah aku disapa sedemikian manisnya. Mama betah berlama-lama memandangi adikku. Mengajak adikku mengobrol berbagai hal dengan suara lembut. Kala bersenandung, suara Mama semerdu harmonika. Sebelum adikku tidur dan setelah adikku bangun, Mama banyak menyanyi lagu-lagu lambat untuknya. Aku baru tahu Mama rajin menyanyi berkat adikku. Pengalaman adikku bersama Mama lebih banyak dariku, padahal aku lebih tua. Aku mengucek mata yang mulai basah. Lama kelamaan putih mataku memerah. Aku merasa tidak disayang.

Hari ketiga, susunan nama adikku baru selesai. Alka Sandika. Alka berarti gadis yang cantik. Sandika berarti cantik dan bersemangat. Banyak mengandung kata cantik nama-nama itu. Sebegitu dalam harapan Mama agar adikku tumbuh menjadi perempuan cantik. Sama dengan Mama, nama adikku terdiri dari dua kata. Nama lengkap Mama, Gita Damayanti. Kalau Papa, Yudhistira. Hanya satu kata persis kepunyaanku. Sepasang nama adikku bermakna bagaikan bunga matahari kuning cerah yang mekar di bulan Mei. Tidak bermakna binatang, nama depan maupun belakang. Nama Alka Sandika dibuat lebih ayu ketimbang Wanara.

Mama dan Alka banyak miripnya. Terutama rambut, warna kulit, dan bentuk alis. Rambut, dari ujung sampai pangkal, hitam dan lurus. Warna kulit, putih merata. Bentuk alis, menukik di ujung. Sedangkan Papa dan aku punya rambut mirip tarian laut alias bergelombang dan hitam. Warna kulit sama kuning langsatnya. Dan alis kami, keduanya nyaris gundul. Tapi hidungku tidak setinggi milik Papa. Apalagi Mama. Bila dirangking, hidung termancung: nomor satu Mama, nomor dua Alka (karena Mama sering bilang Alka fotokopiannya waktu kecil, Mama yakin, besar nanti Alka semancung Mama), nomor tiga Papa, dan aku terakhir.

Lihat selengkapnya