Zaezaezoziezas

Hary Silvia
Chapter #2

Hitam Malam, Taram Temaram Kamar, Monster Kelinci

Malam menelan putih cahaya. Hitam malam. Taram temaram kamar.

Monster kelinci. Yudhis mendapati si telinga putih panjang mengangkat bantal. Mata bulat berdarah dan sepasang gigi depan mengkilat tajam, terlihat gampang mengoyak daging setebal kuda nil. Monster kelinci mendekati keranjang bayi. “Mau apa kamu?” Yudhis membentak. Angin membanting pintu kamar, menguncinya. Hilang sudah kesempatan menarik monster kelinci menjauhi si bayi. Segala upaya Yudhis percuma. Pintu itu amat kokoh, mustahil gampang dihancurkan. Boom! tubuh Yudhis terlempar. Kamar Wawa dan seisinya lenyap karena ledakan. Yudhis bangun di atas rumput kuburan. Nisan menamai perutnya WANARA. Yudhis menangis sejadi-jadinya. Si bayi kehabisan napas, terbunuh, dan mati.

___

Kelopak mata Yudhis terbuka lebar. Masih gelap di luar. Yudhis menoleh ke kanan, bertanya sendiri sejak kapan hanya ditemani bantal. Ia menuruni ranjang. Mimpi buruknya memunculkan gagasan: Wawa harus dijenguk.

Bukan monster kelinci, melainkan punggung sang istri. Gita tengah mengangkat bantal. “Gita!” Secepat kilat Yudhis lakukan pencegahan. Bantal terbuang sebelum Gita menangkup jalan pernapasan Wawa. Gita meronta di sisi keranjang bayi, memerintah si suami melepaskannya. “Jangan halangi aku! sudah kubilang dia bukan anakku! biarkan aku menidurkan anak itu selamanya! dia cuma bisa bikin aku malu! lihat saja bidan klinik menertawakanku!” Bidan klinik mana yang menertawakan istrinya, pikir Yudhis. Gita berhalusinasi. Pekikan Gita mengagetkan Wawa. Bayi itu menangis keras.

Bulu-bulu Wawa lembab kena keringat. Kulitnya merah muda matang karena saking lamanya tidak ditenangkan. Yudhis kelimpungan. Kendati istrinya tetiba diam, ia masih meragukan kewarasannya. Ada kemungkinan Gita bakal menyerang Wawa lagi bila Yudhis melonggarkan keratan lengannya dari tubuh Gita. Yudhis membopong istrinya. Gita tidak melawan. Untungnya. Pelan-pelan Yudhis menaruhnya di kasur kamar utama. Kunci berputar ke kiri. Yudhis mengurung istrinya.

Dalam dekapan Yudhis, Wawa menamatkan tangisan. Ritme jantung papanya membuatnya mengantuk. Si bayi ia baringkan pelan-pelan di ranjang mini berpagar. Yudhis belum ingin kembali. Sejujurnya ia belum siap bersemuka dengan istrinya. Takut dijadikan sasaran. Bisa saja ia menganggap Yudhis penggagal rencana yang menurut istrinya brilian, yang sudah jauh-jauh hari istrinya susun dengan susah payah. Yudhis duduk, menjaga bayinya semalaman. Tapi, ia pastikan pintu kamar terkunci dari dalam sebelum lakukan itu.

Yudhis berangkat satu jam sebelum fajar. Dengan Wawa berada dalam kain gendongan. Gita belum tahu kepergian suaminya karena masih merangkapkan tubuh dengan selimut tebal. Yudhis memikirkan jalan keluar terbaik sejak tengah malam (sesudah insiden menakutkan). Ia mencapai kesimpulan, anak dan istrinya mesti dipisah. Mobil putih kepunyaannya melaju, dari kecamatan Jatinegara ke Pasar Rebo. Mendatangi Widy Yosita, istri ayah angkatnya (Dharmawangsa).

“Kondisi Gita masih belum stabil. Bahkan tadi malam anakku hampir mati di tangan mamanya sendiri. Jadi aku ingin memohon bantuan Ibu. Aku ingin menitipkan Wawa di sini. Soal biaya, tetap aku yang tanggung.”

“Maksudmu kau mau melimpahkan tugasmu sebagai orang tua padaku?”

Biaya bukanlah masalah utama. Akan tetapi, mendengar kemauan Yudhis soal menitipkan anak padanya benar-benar menyakiti kuping Yosi. 

B-baby sitter!” Yudhis tergagap. “Aku akan menugaskan baby sitter untuk merawatnya. Aku cuma membutuhkan lingkungan yang aman untuk bayiku.”

Yudhis tahu dirinya bikin jengkel. Mengganggu penghuni rumah di waktu yang seharusnya masih dipakai si tuan rumah istirahat. Tanpa pemberitahuan, lalu seenak udel Yudhis mengumumkan permintaan besar. Tapi itu satu-satunya cara yang ia pikirkan benar.

“Aku menolak!”

“Ibu!”

“Kita sudah sepakat untuk tidak bersikap layaknya ibu dan anak. Jangan merengek seolah aku ini benar-benar ibumu!”

Yosi setuju dipanggil ibu akan tetapi menarik garis batas antar dirinya dan Yudhis. Secara terang-terangan ia mengaku tidak ingin memiliki ikatan emosional yang merepotkan dengan anak-anak angkat suaminya. Ia menikahi si suami, lantaran Dharma tidak keberatan menyanggupi syarat kedua itu. Dan keengganan Yosi melahirkan anak, ialah yang pertama.     

Lihat selengkapnya