Anushka dipercaya sekolah menilai calon anak-anak berprestasi untuk dikumpulkan di kelas A. Ia jujur. Ia akan langsung menolak orang tua yang berencana memasukkan anaknya ke kelas A lewat jalan belakang. Kemampuannya melihat potensi mendapat pujian kepala sekolah bertahun-tahun. Tahun 2010 ini, ia diberi wewenang kembali. Sebanyak dua puluh anak lolos seleksi. Mereka anak-anak pemberani, bercerita kesukaannya di hadapan ketiga orang dewasa (Anushka dan dua guru lainnya). Lancar dan tanpa malu-malu. Anushka menyelipkan permintaan tambahan di kertas pemberitahuan, sehari sebelum tes baca, tulis, hitung. Anak-anak diperbolehkan membawa benda favorit (tidak wajib).
Ada yang membawa bola, boneka, kamera, buku gambar, kacamata renang, mikrofon, dan barang-barang lainnya yang anak-anak suka. Kebanyakan, barang-barang yang mereka sukai bertalian dengan hobi. Dari dua puluh anak yang lolos, ada dua yang tidak membawa benda favorit. Anak pertama beralasan, benda favoritnya terlalu besar. Ia tidak bisa membawa piano. Sebagai gantinya ia hanya membawa gambar. Itu adalah foto ketika ia bermain piano di panggung konser tunggal kakaknya sebagai tamu. Anak kedua beralasan, yang menjadi favoritnya bukan benda melainkan orang. Ialah guru privat yang membuatnya menyukai segala hal yang berkaitan dengan angka. Guru itu ia perkenalkan di hadapan Anushka yang antusias dan membatin ini dia calon anak berprestasi yang selanjutnya!
___
Aku masuk kelas A. Kukira itu berkat guru Anushka. Katanya di sekolah ini belum ada pendongeng. Aku bisa menjadi yang pertama. Ia bertepuk tangan sewaktu aku selesai membaca. Cerita yang kubaca terdengar hidup dibandingkan seratus enam puluh sembilan siswa lain. Guru Nushka menyukainya (ia tidak suka ketika aku memanggilnya guru Anush, senyumnya langsung hilang namun keinginannya memasukkanku ke kelas A tidak hilang). Ia sampai menyuruhku membaca cerita sebanyak tiga kali dengan buku berbeda. Benda favorit yang kubawa adalah boneka. Saat guru Nushka bertanya kenapa, kujawab karena Mama enggan mendengarku bercerita. Kubayangkan bonekaku adalah Mama lalu aku bercerita banyak hal padanya.
“Dari mana kamu belajar membaca seperti itu?”
Guru Lin kubilang. Aku meniru bagaimana guru Lin membaca kemudian membiasakannya sampai sekarang. Kata Mama, cara membacaku berlebihan karena aku membuat suara-suara berbeda. Suara buaya lebih besar (sengaja, supaya terdengar seram) saat bercakap-cakap dengan kancil. Tapi guru Lin bilang itu bagus dan keren. Reaksi guru Lin tak jauh berbeda dengan guru Nushka. Sama-sama berseru bagus! bagus! bagus! Guru Nushka setuju pendapat guru Lin dan menyuruhku terus berhubungan dengan guru Lin supaya kepandaian mendongengku terus meningkat. Mama tidak lagi meminta guru Lin ke rumah semenjak aku masuk SD. “Sayang sekali.” Guru Nushka sedikit kecewa.
Mama bilang "bagus sekali" padaku. Aku mendapat “bagus” berturut-turut. Tapi yang ketiga ini yang paling membuat dadaku seperti ditumbuhi bunga mawar. Mama tersenyum karenaku untuk pertama kalinya. Alka hampir setiap hari membuat Mama tersenyum. Aku bertanya kapan aku bisa seperti Alka (yang mudah sekali membahagiakan Mama, ialah hanya dengan berada di dekatnya), pada si boneka cantik bermata biru bernama Mimi. Tentu saja Mimi tidak menjawab. Mimi kubaringkan. Kubiarkan matanya beristirahat karena kasian. Mata Mimi pun terpejam setelah melek seharian tanpa mengedip. Sekarang aku senang melihat mata Mama berbintang-bintang ketika menghadap papan pengumuman yang tulisannya, nama: Wanara, kelas: 1A.
Mama tidak menggandengku sampai kelas seperti orang tua lain. Memeluk di depan gerbang sekolah apalagi. Ia menyuruhku turun sendiri. Saat mobil Mama meninggalkanku, aku merasa dibuang. Aku tak tahu kenapa. Padahal pergi ke sekolah luar adalah keinginanku namun aku malah ingin pulang sekarang. Seorang guru melihatku. Ia mengajakku masuk bersama. Ia menanyakan namaku. Ia berkomentar namaku lucu (mungkin karena ia belum tahu artinya). Lucu yang menggemaskan bukan yang pantas ditertawakan. Aku sedikit terhibur olehnya. Nama guru lelaki itu Valen. Ia mengantarku sampai depan kelas, setelah memujiku pintar sebab bisa masuk kelas unggulan.
Di kelas A, tiap siswa menempati satu kursi dan satu meja. Gantungan alat kebersihan, sapu, tempat sampah, kemoceng, dan cikrak, menempel di dinding paling belakang. Loker siswa ada di luar kelas. Sepatu yang dilepas sebelum masuk, mereka kunci di dalam loker. Tata tertib sekolah sudah tertulis di buku panduan yang dibagikan saat masa pengenalan sekolah minggu lalu. Jadi, seluruh siswa baru sudah paham bagaimana seharusnya bersikap. Kecuali mungkin, tiga siswa lelaki yang sekelas denganku.
Kebanyakan anak-anak yang sudah datang menghindari bangku depan. Aku sebaliknya. Aku memilih bangku depan. Duduk di deretan nomor tiga bila dihitung dari pintu. Bangku depan dekat papan tulis, dekat guru ketika menerangkan pelajaran. Membuatku bersemangat hanya membayangkannya saja. Kulit tanganku merinding karena tidak sabar. Empat anak lainnya sepertiku. Mereka langsung duduk di kursi depan tanpa keragu-raguan. Tiga anak laki-laki. Satu anak perempuan sepertiku. Ia mengalungkan kamera pink di lehernya. Aku tak tahu banyak soal kamera namun sepertinya harganya mahal. Satu anak laki-laki maju. Ia menghapus tulisan spidol yang tersisa di papan putih. Ke tempat duduk, ia kembali meneruskan bacaan.
Murid-murid diperbolehkan istirahat tiga puluh menit, sesudah belajar dua mata pelajaran. Anak-anak kelasku mulai berhamburan keluar. Beberapa dari mereka sudah saling kenal, dan memutuskan pergi ke kantin bersama. Aku diam di kelas karena Mama membuatkanku bekal. Kotak makan di mejaku ini punya kembaran. Kembarannya ada bersama Alka sekarang. Mudah membedakan keduanya karena masing-masing memiliki rona berbeda. Punyaku warnanya seperti melon matang, sedangkan Alka stroberi. Lauk hari ini adalah, satu: telur dadar gulung. Dua: sosis yang dibentuk mirip gurita. Sayurnya, Mama memasakkan capcai. Alka tidak suka sayur, jadi di kotak makannya tidak ada capcai. Mama menggantinya dengan buah. Mama iris-iris dan dimasukkan ke dalam plastik bening. Ada susu kotak di tas, aku belum mau mengambilnya. Nanti saja. Makanan-makanan itu cepat hancur di mulutku. Aku tidak tahu alasannya. Apakah karena masakan Mama enak atau karena terlalu lapar. Kurasa bisa saja kedua alasan itu benar.
Seorang anak lelaki menghampiriku. Aku berdebar. Apakah sebentar lagi aku akan memiliki teman? Ia mencuri sebiji sosis yang mau aku makan. Kukira ia sangat lapar sehingga lupa meminta izin. Aku merelakannya.
“Apakah itu enak?”
Kedua temannya ia undang untuk mencobanya juga. Mereka seperti menggelar pesta makan di atas piring orang lain.
“Makasih ya….”