Zaezaezoziezas

Hary Silvia
Chapter #6

Anak-anak Tertawa di Halaman Depan Panti Asuhan Doobeedoo

Anak-anak tertawa di halaman depan Panti Asuhan Doobeedoo. Anak-anak tertidur di kamar Panti Asuhan Doobeedoo. Anak-anak yang tertawa masih kecil-kecil. Belum sekolah. Mereka bermain-main di luar. Anak-anak yang tertidur sudah sekolah. Mereka kelelahan. Pagi mereka sekolah. Sore sampai malam mengamen. Ke warung-warung pinggir jalan kota Depok. Ke mobil-mobil, ke motor-motor yang mandek di lampu merah. Ke depan mal-mal, ke angkutan umum, ke orang-orang yang nongkrong di mana pun yang kelihatannya berduit. Tapi orang-orang itu pura-pura tidak melihat. Menyembunyikan uang mereka di saku paling dalam. Karena uang mereka nilainya besar-besar. Memberi orang kecil haruslah pakai uang kecil, kata mereka.

Waktu masih usia main, Yudhis ingin seperti anak-anak tua (anak-anak yang sudah sekolah). Uang saku mereka lebih banyak lantaran bisa mencari uang sendiri. Ia mendengar anak-anak tua hanya tinggal menyanyi lalu memperoleh uang. Mudah sekali. Yudhis tidak tahu (karena anak-anak usia main dilarang tidur larut malam sedang anak-anak tua pulang larut malam) kalau anak-anak tua pernah pulang membawa lebam di perutnya, dihajar preman. Dihajar preman karena dianggap tidak sopan. Uang kertasnya dipalak. Pulang-pulang dihajar lagi oleh pengasuh panti karena setoran kurang. Cuma recehan yang mereka bawa. Pengasuh menghindari muka mereka, ia lebih memilih memukuli punggung atau paha supaya tidak ketahuan anak-anak usia main. Tuan dan Nyonya donatur lebih perhatian ke anak-anak usia main. Bahaya bila anak-anak itu mengadu. Pengasuh bisa dipecat. Atau bahkan dipolisikan. Makanan bui seperti makanan anjing. Ia kapok, tidak mau masuk ke sana lagi. Tetapi, ia belum kapok berjudi.

Hari ini Abang Jali absen. Isi surat izinnya sakit. Ia menitipkannya ke anak panti yang satu SMP dengannya. Berkali-kali Abang Jali menyuruh Yudhis pergi main tapi tidak digubris. Ia mengkhawatirkan abangnya meski bukan kandung. Abang Jali selalu baik. Yudhis dirawat seperti adik sendiri. Saat sehat maupun sakit. Sekarang gantian, Yudhis yang ingin merawat abangnya. Ia mengompresnya. Menyuapinya. Menggerus obat demam abangnya. Abang Jali menolak diminumkan obat. Ia bukan anak kecil, katanya. Yudhis pun membiarkannya meski tangan si abang gemetar. Abang Jali tertidur karena efek obat. Yudhis menaikan selimutnya. Ternyata Abang Jali pura-pura tidur. Giginya mengeluarkan desis. Sakit punggungnya tak tertahankan. Ia tidak bisa mengeluh bila Yudhis berada di dekatnya. Sebaik mungkin, ia sembunyikan kepelikannya dari anak-anak usia main. Kalau tidak, pengasuh bakal menghukumnya lebih parah. Ia kesusahan semenjak setoran naik. Satu anak, lima puluh ribu rupiah. Kurang dari itu, maka akan dipukuli. Dari dulu ingin sekali ia kabur. Tapi takut. Teman satu panti pernah mencoba kabur namun tertangkap kembali. Ia dihajar sampai mati. Mayatnya, Jali tidak tahu dibuang ke mana. Jali membuka baju. Sudah waktunya mengolesi memar punggung dan lengannya.

“Bang! kenapa punggungnya bisa begitu? Abang jatuh?” Jali kaget. Setelah dipikir-pikir, ia sendiri tidak mendengar suara pintu ditutup. Rupanya Yudhis masih di kamar. Sedari tadi tidur-tiduran di lantai.

“Terpeleset.” Aku Jali spontan.

“Di mana? di kamar mandi?” pikiran Jali buntu. “Iya di kamar mandi.” Batin Jali memohon agar adiknya berhenti bertanya.

“Tapi itu kayak bukan jatuh Bang? Abang habis dipukuli ya?” Jali memejamkan mata. Dadanya sakit, disergap emosi.

“Nggak usah sok tahu. Kamu sekarang keluar. Abang mau istirahat sendirian. Abang kan sudah suruh kamu main di luar, ngapain masih di sini?” Yudhis menahan napas. Abang Jali tidak pernah memarahinya selama ini. Ia kira usia enam sudah besar dan mengerti segalanya. Nyatanya salah. Abang Jali ialah dewasa yang sebenarnya. Yudhis merasa dirinya tak jauh beda kelakuannya dengan adik-adik panti yang ia rawat. Sama ceroboh. Ia menunduk meminta maaf. Suara sesal yang Yudhis keluarkan menggoyahkan hati Abang Jali. Ia hampir mengelus kepala adiknya. Namun ia kekeh mengepal tangan, menahan diri. Ia berpura-pura tega supaya Yudhis tidak mengulang pertanyaan yang sewaktu-waktu bisa membuatnya mati. Jali menarik selimut sampai kepala. Suara pintu tertutup baru kedengaran sekarang. Jali lekas memejamkan mata. Ia perlu menyiapkan tenaga. Mengamen akan terus menjadi rutinitasnya. Sampai kapan pun. Sekalipun tulang-tulangnya hancur.

___

Lihat selengkapnya