Merokok tidak sehat, Yosi. Kurangi. Kalau bisa, berhenti sama sekali. Sudah. Sudah Dharma. Yosi katakan itu berulang-ulang. Pada bayang-bayang Dharma dalam pikiran Yosi sendiri. Barusan ia menelpon Yudhis. Ia suruh anak angkat suaminya itu kemari. Ke rumah sakit Kusumaning, tempat Dharma dirawat.
Tidur melulu juga tak baik, Dharma. Bangunlah. Matahari sudah berpindah di tengah langit. Kita pulang sekarang. Yosi bisikkan itu pada suaminya di ICU sana.
Tubuhnya betah sekali terlentang. Kesadarannya susah terpanggil. Yosi kasihkan ia kesempatan sepuluh tahun. Tapi Dharma menolak bangun. Tim dokter bilang upaya mereka tampaknya sia-sia. Berat sekali mengatakannya, kata dokter. Tapi keputusan dokter tetap harus disampaikan. Alat-alat penunjang Dharma mesti secepatnya dicopot. Yosi memohon tambahan dua tahun lagi. Yosi ingin mengundang keajaiban dengan mempercayainya. Meski dulunya ia tak betul-betul percaya.
Bagusnya, dokter bersedia menunggu dua tahun lagi. Tetapi, dua puluh empat bulan berlalu sangat cepat. Yosi belum bersua keajaiban sama sekali. Mulutnya manis-manis pahit karena menyesap delapan belas permen kopi. Pengganti rokok. Di depan ruang suaminya, ia menunggu Yudhis sembari duduk bersandar. Tidak hanya Yudhis melainkan juga istri dan dua putrinya yang diminta kemari. Ini kabar penting, seluruh penghuni rumah Yudhis mesti tahu. Mereka datang. Yudhis berjalan di depan. Istri dan anak-anaknya membuntutinya. Istrinya menyembunyikan mulut dan hidung dengan masker. Matanya marah. Tapi tidak menyala-nyala. Marah yang terpendam. Tak direncanakan untuk keluar. Bencinya belum surut pada mertua perempuannya. Makin bertambah sepertinya sebab ia menyuruh-nyuruh Gita ikut suaminya ke rumah sakit. Bukankah Yudhis saja sudah cukup?
Yosi menguat-nguatkan setengah jiwa yang tersisa. Sebab setengah lainnya terasa mati. Bibir Yosi bergetar. Ia sambut mereka dengan senyuman yang pipinya tarik paksa. “Apa kabar kalian? Yudhis, Gita, Alka, dan Wawa.” Baik-baik jawabnya. Ia beri tahu kabar tak mengenakkan soal pelepasan alat penunjang suaminya. Yudhis menitihkan air mata. Yosi pula. Dokter menundukkan kepala menyebut tanggal pun jam kematian si pasien, Dharmawangsa.
“Awalnya serangan jantung terus…” si tetangga menjelaskan ke tetangga lain selesai mengaji Yasin. Lancar sekali bercerita siklus sakit Dharma hingga dipeluk Yang Maha Kuasa. Ia memang tetangga pertama yang datang. Yang lebih dulu mengelus-elus pundak Yosi dan berucap sabar sabar. Lalu merasa paling tahu. Lalu mengisahkan pada tetangga-tetangga yang berdatangan sementara Yosi menelpon kerabat-kerabat Dharma. Mendiang Dharma belum dimakamkan. Menunggu kelengkapan para anak angkat yang berdiam di Jakarta dan sekitarnya. Sebanyak delapan orang termasuk Yudhis. Yang dua orang lagi tinggalnya paling jauh. Mereka sudah dihubungi Yosi. Satunya datang besok. Satunya nanti malam. Satunya di luar negeri. Satunya di luar pulau. Satunya perempuan. Satunya laki-laki.
___
Menyapa Nyonya Yosi, Nenek terasa canggung. Ini pertama kalinya kami bertemu. Papa tak pernah mengajakku kemari. Aku tanya bagaimana Nyonya Yosi ingin dipanggil. Ia katakan Oma saja. Oma berpasangan dengan Opa. Kusimpulkan mendiang Tuan Dharma bisa kusapa Opa. Kami mengantar mendiang Opa tidur selamanya di dalam tanah. Delapan anak angkatnya menangis bersama. Termasuk Papa. Air mata Papa tidak henti-hentinya mengalir. Setengah mangkok, mungkin bila dikumpulkan. Sedih Papa tak dapat dibandingkan dengan tujuh anak angkat lain. Tapi sedih Papa tak ada seperempatnya bila dibandingkan dengan Oma. Oma sampai pingsan tiga kali sebab kepergian Opa. Oma, Papa, dan aku tinggal lebih lama di pemakaman. Mama dan Alka pulang ke rumah Oma duluan. Mama dan Alka melekat satu sama lain. Tak mungkin kukacaukan keharmonisan mereka dengan berada di tengah-tengah mereka.
Begini rasanya di pemakaman. Orang-orangnya amat tenang. Seakan jaga sikap. Jaga kelakuan. Takut mereka yang belum mendiang mengganggu tidur yang sudah mendiang. Opa tampan sekali sewaktu muda. Tampan nan kalem. Oma juga cantik. Cantik nan tegas. Mata Opa sipit dan punya kumis tipis. Ketika senyum, ada lesung pipit di kedua pipi Oma. Kulihat betapa Opa dan Oma terlihat berbunga-bunga di foto pernikahan mereka. Terbingkai besar dan menggantungi dinding ruang tamu rumah Oma.
Oma katakan pada kedelapan anak angkat suaminya supaya tak perlu menemaninya. Oma tahu mereka punya kepentingan sendiri-sendiri. Oma tak mau mereka repot-repot mengubah jadwal hanya karena wanita tua macam Oma. Oma memang tua namun tidak manja. “Tapi hubungi kami kalau ada apa-apa Ibu.” Oma mengucap terima kasih. Mama langsung pamit. Maskernya sudah dibuka. Mama menyayangi mendiang Opa. Ia turut menangisi kepergian Opa. Tapi, muka Mama tidak kelihatan cemas seperti menantu-menantu lainnya pada Oma. Mama menggandeng Alka menuju mobil Papa. Giliran Papa yang pamit.