Zaezaezoziezas

Hary Silvia
Chapter #8

Anak-anak Nakal Menyusahkan

Kuperkenalkan nama anak-anak nakal yang pernah buatku susah. Axel, Bobby, dan Dani. Axel, dialah pelaku utama. Memakan bekalku lebih dulu kemudian mengajak dua lainnya. Ia masih kelas empat. Tidak naik kelas lima. Tak tahu apa sebabnya. Aku tak peduli jua. Baru tahu ia sekelas dengan Alka karena ia diundang pesta di rumah beberapa waktu lalu. Bobby dan Dani ialah dua lainnya yang kumaksud itu. Mereka bagaikan kerbau dungu. Terus menerus membuntuti Axel ke mana-mana. Turut mengunyah isi bekalku tanpa bertanya. Mereka masa bodoh dengan bagaimana perasaan anak yang makanannya dicuri. Aku tak mau kenal Bobby maupun Dani. Mereka menyebut nama diri bergiliran tanpa ditanya. Mereka pikir bila kusudah tahu mereka, artinya makan siangku boleh dicicip sampai habis. Kenal berarti bisa berbuat semaunya. Otak bodoh mereka membenarkan itu sepertinya. Tak pernah aku sejengkel ini, sampai menyebut anak manusia bodoh, dungu.

Alka berubah semenjak kelas dua semester dua. Tingkahnya tidak seramah dulu. Manisnya hanyut ke laut. Namun ia tak pernah buatku marah. Mama pula. Mulut Mama kasar memang. Tapi aku tak menyimpan dendam. Cukup menganggap omongan Mama semacam angin sehingga lalu begitu saja. Tapi… benarkah pikiran dan perasaanku demikan?

Aku berangkat sekolah dari rumah Oma. Papa membawakan segala keperluan menginap termasuk seragam begitu kubilang aku akan tidur di rumah Oma. Pukul setengah tujuh diantar asisten Oma sekolah. Ia setuju kupanggil Tante Dayu meski ia lebih suka aku menghilangkan Tante. Cukup Dayu katanya. “Susah,” aku mengeluh. Ia bebaskan aku menyapanya apa saja pada akhirnya. Gerbang sekolah sudah terbayang-bayang di kaca mobil, aku bersiap turun. Mobil berhenti. Asisten berputar kemari membukakan pintu. Padahal aku bisa sendiri. Kuingat Mama tak memanjakanku sampai sebegitunya. Aku tersanjung. Aku mengucap terima kasih atas kebaikan itu. “No problem, Nona Kecil.” Lembut sekali. Tanah dan beton yang kuinjak, kanan kirinya berdempet-dempet ribuan bunga. Warna-warna cerah kelopaknya terhampar. Berbau wangi kasturi. Burung-burung pipit terbang rendah di kaki langit. Pemandangan itu tampak olehku saja. Anak-anak lain tidak. Mungkin bisa, bila pagi mereka sama cerianya denganku.

Aku anak ke sepuluh yang masuk kelas. “Ini betulan kamu Wa?” jantungku serasa terhujam sesuatu. Terasa sakit. Dadaku berdarah-darah. Namun aku bertahan. Susah payah berjalan ke bangku. Jangankan menjawab tanya temanku, berjalan ke bangku yang jaraknya dekat saja aku gemetaran. Beda dengan bangku teman-temanku, mejaku dikhususkan pelaku untuk ditempeli foto bayiku (yang penuh bulu) lebih banyak. Berjejal penuh sesak. Tak ada jarak. Kulit kayu di muka meja sampai tak terlihat. Kucabut kasar semua foto itu. Aku ngos-ngosan. Di papan putih malah dipasangi spanduk. Tubuh berbuluku terlihat lebih besar, lebih jelas, dan lebih gelap. Nama lengkapku memanjang di bawahnya. Itu sebabnya temanku tahu siapa makhluk aneh menakutkan di foto itu. Di meja teman-temanku cuma sebiji foto. Melekat di tengah-tengah meja tanpa nama. Ingin sekali aku mencopot benda besar di papan putih tapi energiku bak tersedot habis rasa malu. Bisa-bisa aku mati di tempat. Aku tidak tahan. Aku berlari keluar kelas. Kakiku pandai mengerem dadakan. Untungnya. Hampir saja tubuhku menabrak ketua kelas. Sekarang masih tujuh kurang sepuluh menit. Gerbang depan belum tertutup. Sekuat tenaga aku membawa tubuhku. Teguran guru kuanggap kerosak-kerosak. Tiada berguna sama sekali. Mungkin bunyi normal dari mulut guruku begini “jangan lari-larian di koridor!”

Seketika dunia terbalik. Padang bunga yang kulihat tadi berubah, menjelma tanah berlumpur. Pohon-pohon mati dan bengkok menancap di sekitarnya. Burung-burung pemakan bangkai hinggap di ranting. Mereka mengeluarkan suara tawa yang menyakitkan telinga. Aku menelpon Tante Dayu. Oma menyuruhku menghubungi Tante Dayu begitu sekolah usai. Kelas bahkan belum dimulai, aku sudah meminta pulang. Aku menunggu Tante Dayu di tempat duduk yang disediakan supermarket terdekat. Sebagaimana orang dewasa yang ingin melupakan hari buruk dengan minum bir. Aku pun sama. Tetapi bocah seusiaku cukup dengan menyesap minuman soda. Air mata mengasinkan mulutku. Soda putih menyengat tenggorokanku.  

___

Lihat selengkapnya