Kuperkenalkan nama anak-anak nakal yang pernah buatku susah. Axel, Bobby, dan Dani. Axel, dialah pelaku utama. Memakan bekalku lebih dulu kemudian mengajak dua lainnya. Ia masih kelas empat. Tidak naik kelas lima. Tak tahu apa sebabnya. Aku tak peduli jua. Baru tahu ia sekelas dengan Alka karena ia diundang pesta di rumah beberapa waktu lalu. Bobby dan Dani ialah dua lainnya yang kumaksud itu. Mereka bagaikan kerbau dungu. Terus menerus membuntuti Axel ke mana-mana. Turut mengunyah isi bekalku tanpa bertanya. Mereka masa bodoh dengan bagaimana perasaan anak yang makanannya dicuri. Aku tak mau kenal Bobby maupun Dani. Mereka menyebut nama diri bergiliran tanpa ditanya. Mereka pikir bila kusudah tahu mereka, artinya makan siangku boleh dicicip sampai habis. Kenal berarti bisa berbuat semaunya. Otak bodoh mereka membenarkan itu sepertinya. Tak pernah aku sejengkel ini, sampai menyebut anak manusia bodoh, dungu.
Alka berubah semenjak kelas dua semester dua. Tingkahnya tidak seramah dulu. Manisnya hanyut ke laut. Namun ia tak pernah buatku marah. Mama pula. Mulut Mama kasar memang. Tapi aku tak menyimpan dendam. Cukup menganggap omongan Mama semacam angin sehingga lalu begitu saja. Tapi… benarkah pikiran dan perasaanku demikan?
Aku berangkat sekolah dari rumah Oma. Papa membawakan segala keperluan menginap termasuk seragam begitu kubilang aku akan tidur di rumah Oma. Pukul setengah tujuh diantar asisten Oma sekolah. Ia setuju kupanggil Tante Dayu meski ia lebih suka aku menghilangkan Tante. Cukup Dayu katanya. “Susah,” aku mengeluh. Ia bebaskan aku menyapanya apa saja pada akhirnya. Gerbang sekolah sudah terbayang-bayang di kaca mobil, aku bersiap turun. Mobil berhenti. Asisten berputar kemari membukakan pintu. Padahal aku bisa sendiri. Kuingat Mama tak memanjakanku sampai sebegitunya. Aku tersanjung. Aku mengucap terima kasih atas kebaikan itu. “No problem, Nona Kecil.” Lembut sekali. Tanah dan beton yang kuinjak, kanan kirinya berdempet-dempet ribuan bunga. Warna-warna cerah kelopaknya terhampar. Berbau wangi kasturi. Burung-burung pipit terbang rendah di kaki langit. Pemandangan itu tampak olehku saja. Anak-anak lain tidak. Mungkin bisa, bila pagi mereka sama cerianya denganku.
Aku anak ke sepuluh yang masuk kelas. “Ini betulan kamu Wa?” jantungku serasa terhujam sesuatu. Terasa sakit. Dadaku berdarah-darah. Namun aku bertahan. Susah payah berjalan ke bangku. Jangankan menjawab tanya temanku, berjalan ke bangku yang jaraknya dekat saja aku gemetaran. Beda dengan bangku teman-temanku, mejaku dikhususkan pelaku untuk ditempeli foto bayiku (yang penuh bulu) lebih banyak. Berjejal penuh sesak. Tak ada jarak. Kulit kayu di muka meja sampai tak terlihat. Kucabut kasar semua foto itu. Aku ngos-ngosan. Di papan putih malah dipasangi spanduk. Tubuh berbuluku terlihat lebih besar, lebih jelas, dan lebih gelap. Nama lengkapku memanjang di bawahnya. Itu sebabnya temanku tahu siapa makhluk aneh menakutkan di foto itu. Di meja teman-temanku cuma sebiji foto. Melekat di tengah-tengah meja tanpa nama. Ingin sekali aku mencopot benda besar di papan putih tapi energiku bak tersedot habis rasa malu. Bisa-bisa aku mati di tempat. Aku tidak tahan. Aku berlari keluar kelas. Kakiku pandai mengerem dadakan. Untungnya. Hampir saja tubuhku menabrak ketua kelas. Sekarang masih tujuh kurang sepuluh menit. Gerbang depan belum tertutup. Sekuat tenaga aku membawa tubuhku. Teguran guru kuanggap kerosak-kerosak. Tiada berguna sama sekali. Mungkin bunyi normal dari mulut guruku begini “jangan lari-larian di koridor!”
Seketika dunia terbalik. Padang bunga yang kulihat tadi berubah, menjelma tanah berlumpur. Pohon-pohon mati dan bengkok menancap di sekitarnya. Burung-burung pemakan bangkai hinggap di ranting. Mereka mengeluarkan suara tawa yang menyakitkan telinga. Aku menelpon Tante Dayu. Oma menyuruhku menghubungi Tante Dayu begitu sekolah usai. Kelas bahkan belum dimulai, aku sudah meminta pulang. Aku menunggu Tante Dayu di tempat duduk yang disediakan supermarket terdekat. Sebagaimana orang dewasa yang ingin melupakan hari buruk dengan minum bir. Aku pun sama. Tetapi bocah seusiaku cukup dengan menyesap minuman soda. Air mata mengasinkan mulutku. Soda putih menyengat tenggorokanku.
___
Hari ini bukan piket ketua kelas. Namun ia yang memasukkan spanduk ke tempat sampah. Mencopoti foto-foto di meja anak-anak dengan sukarela. Ia memeriksa kelas-kelas lain pula. Merebut foto-foto dari tangan anak-anak lain seolah petugas razia. Ia memarahi anak-anak yang menolak menyerahkannya. Ia juga mengancam bakal melaporkan anak itu ke guru BP, menuduhnya komplotan yang membuli Wawa. Foto-foto itu dipasang di meja semua kelas lima. Tingkat satu, dua, tiga, empat, dan enam tidak. Anak-anak berkerubung di depan papan pengumuman. Foto bayi Wawa berukuran 10R terpampang di sana pada jam istirahat. Alex terbahak di barisan paling belakang melihat foto jelek itu. Anak-anak ribut, terus membicarakan foto itu. Ada yang memotret foto itu kembali. Ketua kelas mencopotnya lagi. Meremas-remasnya dan akan membawanya ke kelas A. “Tolong hapus foto itu!” ketua kelas menyuruh seorang anak yang sempat memotretnya dengan Android. “Kamu mau aku laporkan ke guru BP?” anak itu lantas menghapusnya karena takut dilaporkan sebagai pembuli. Ketua kelas 5A terlihat menakutkan ketika serius, akan tetapi guru BP lebih menakutkan lagi. Dan ia tidak mau berurusan dengan guru BP.
Mula-mula Wawa meminta diantar ke rumahnya. Ia mengambil dua puluh pakaian secara acak. Ia memejamkan mata ketika mamanya meneriakinya sebab bolos sekolah. Di antara kemarahannya, ada keluhan soal biaya sekolah mahal. Ia menuduh Wawa tidak serius. Wawa cuma bermain-main. Wawa menyia-nyiakan uang Gita. “Kalau gitu mulai hari ini Wawa keluar dari sekolah. Jadi Wawa nggak perlu bikin repot Mama.” Wawa membenahi posisi tas di punggungnya. Ia minggat dari rumah. Gita mengejarnya. Bukan karena tidak mau anaknya pergi tetapi karena ia merasa kurang puas belum menuntaskan semua kemarahannya. “Tante, ayo pulang ke rumah Oma.” Dayu penasaran dengan siapa wanita berantakan yang berteriak-teriak tadi. “Apa di rumahmu ada, maaf, orang gila?” Wawa mengangguk saja sambil menangis. Itu pertanyaan terakhir. Dayu tidak lagi ingin mengganggunya. Ia memaku pandang pada roda kemudi dan jalanan raya. Ia biarkan Wawa memerah air mata sepuasnya di kursi belakang. Sekali ia mengusiknya, ketika mengulurkan anak itu sapu tangan.
___
Tak kutemui siapapun di rumah Oma. Pagi-pagi Oma, Om Dika, istri Om Dika, anak-anak Om Dika, dan Tante Kiki sudah hilang. Tante Dayu bilang, kemungkinan mereka sudah berangkat ke makam Opa.
“Nona Kecil mau di sini?” Aku mau di sini. Aku ingat Oma punya Baba, Gaga, Gugu, Gigi, Kuku, Leo, dan Tata. Aku bisa menunggu Oma di dalam rumah bersama mereka.
“Kalau gitu saya temani Nona Kecil juga.” Aku senang Tante Dayu tetap bersamaku. Ia duduk-duduk di ruang tamu. Aku langsung lari ke rumah Baba. Baba masih sinis padaku. Aku mau dekat-dekat ia lagi. Lama-lama ia pasti tahu kalau aku tidak bermaksud jahat padanya.