Zaezaezoziezas

Hary Silvia
Chapter #10

Yosi Ber-kakek dan Ber-nenek

Yosi tidak berayah dan tidak beribu. Yosi ber-kakek dan ber-nenek. Ayah Yosi bajingan. Kabur sesudah menghamili ibu Yosi. Meninggalkan seratus juta dan surat berisi alasan-alasan kurang ajar, masih tujuh belas tahun, disuruh pindah ke luar negeri papa mama, belum pantas jadi ayah. Ibu Yosi tak boleh mendiami rumah sesudah melahirkan oleh Tuhan. Ia dicabut malaikat maut. Tuhan yang suruh. Tinggalah Yosi bersama kakek-neneknya di rumah pendek (karena cuma satu lantai dan tidak setinggi milik ayah Yosi yang bajingan) sewarna langit, di Bantul, Jogjakarta. Nenek Yosi tiga puluh tujuh tahun. Kakek Yosi empat puluh tahun. Sudah terlatih mereka merawat anak-anak. Kalau pun ibu Yosi hidup, tetaplah kakek-neneknya yang lebih banyak menimang-nimang Yosi. Ibu Yosi masih belia, kakek-nenek Yosi sudah pasti menyuruh ibu Yosi menamatkan sekolah lebih dulu. Memintanya coba-coba beasiswa kuliah. Andai tidak dapat, kakek Yosi siap menjual tanah yang ada di Sleman buat segala sesuatu yang dititahkan pihak kampus membayar. Uang gedung kah, SPP kah, uang buku kah, uang fotokopi kah, uang cetak makalah atau skripsi kah, terserah.

Ekor kucing berlenggak-lenggok ketika disentuh Yosi. Yosi terkekeh. Delapan gigi susunya bersinar. Kucing menoleh. Kucing meloncat ke pangkuan Nenek. Si kucing melengkungkan badan, mencoba tidur. Yosi mengikuti si kucing pergi lalu mengulang sentuhannya. Kucing tetap diam. Sudah bermimpi sepertinya. Nenek mengelus-elus punggung kucing. Yosi berkedip-kedip. Ia jongkok mengamati tangan Nenek maju-mundur. Kepala kucing tampak menarik. Kuping segitiganya apalagi, seperti topi nenek sihir. Ia mengikuti gerakan Nenek. Ia mengelus kepalanya. Senyum Yosi menular ke Nenek. Banyak kucing di sekitar tempat tinggal Yosi. Kawan Yosi ialah mereka selain kakek dan neneknya.

Yosi bermain-main di dalam rumah. Ia berjongkok seperti kodok. Ia melompati waktu. Satu sampai tujuh. Berdirilah ia di tahun ke tujuh. Ia dimasukkan sekolah dasar oleh kakeknya yang pandai memainkan wayang kulit. Di sekolah ada kakak tingkat (kelas 5) yang hampir sepandai kakeknya mendalang. Yosi ingin pamer ke kakak kelas itu soal kakeknya tapi Yosi tidak mengenalnya. Di sekolah juga ada kucing liar. Bulunya hitam putih namun lebih banyak putihnya. Yang hitam cuma kuping, empat telapak kaki, dan ekor. Bulu-bulu di ubun-ubunnya rontok karena koreng. Yosi ingin membawanya pulang tapi takut dimarahi Nenek. Nenek Yosi pusing bila terlalu banyak kucing. Karena terus-terusan bersih-bersih tahi kucing, muntahan kucing, air kencing kucing. Rumah dan sekitarannya sering berbau tidak enak. Nenek Yosi kemudian membuat tiga peraturan. Satu, kucing dilarang masuk rumah. Dua, beri makan kucing di luar rumah. Tiga, dilarang membawa kucing liar lagi ke lingkungan rumah.

Selain buku-buku dan pensil, Yosi memasukkan pula makanan kucing di ransel. Untuk si Putih bilangnya. Si Putih makan bersamanya saat jam istirahat. Si kucing di bawah, Yosi di atas kursi besi panjang milik taman sekolah.

“Siapa namanya?” itu kakak kelas yang pandai mendalang. Yosi menyebut nama diri.

“Bukan kamu, kucing itu.” Yosi kesal tapi tetap memberi tahu nama si kucing. “Halo Putih. Namamu jelek sekali.” Yosi mengusir anak itu karena nama karangannya diejek. Kakak kelas itu malah duduk. Ia lalu bercerita setelah lulus nanti ia akan sekolah di Jakarta. Sebetulnya ia tidak mau. Terlanjur kerasan di Jogja. Juga keberatan berpisah dengan kakek-neneknya.

“Dasar cengeng!” Yosi mengatainya lalu menggigit ayam goreng.

“Siapa bilang aku nangis? Aku kan cowok.”

Sok betul ini anak, Yosi mencibir. “Emang kenapa kalau cowok nangis? Arjuna aja nangis waktu Abimanyu mati.” Tulang ayam yang belum bersih, Yosi berikan pada si Putih.

“Kamu suka wayang?” Momen yang pas untuk pamer soal kehebatan mendalang kakeknya, pikir Yosi. Yosi mulai menyombong. Kakeknya yang mahir bercerita. Penonton kakeknya banyak. Penonton kakeknya bertepuk tangan keras sekali. Orang-orang tidak mau nonton wayang kalau dalangnya bukan si kakek.

Lihat selengkapnya