Yang namanya “waktu”, pantang mundur. Meski jam bundar kunonaktifkan sejak sembilan puluh enam jam lalu, pagi, siang, malam tetap datang bergiliran sesuai jadwal. Ini malam terakhir sebelum penentuan keputusan di hadapan Papa. Aku tidak bisa tidur. Aku menuruni kasur. Aku keluar. Menemui teman-teman di belakang. Sudah tidurkah mereka? Aku salah mengira. Baba sedang berpakaian.
“Kenapa berpakaian? mau kemana?” yang lain sudah melakukan persiapan. Tinggal menunggu Baba. Gaga menyuruh Baba cepat-cepat.
“Jangan melamun, kita bisa terlambat,” Gigi marah-marah.
“Aku tidak melamun, aku sedang mengingat-ingat.” Baba menengok cabang pohon jambu paling atas. Baba berseru “itu dia!” Celananya melambai-lambai di sana. Ia segera memanjat untuk meraihnya.
“Ada yang bisa menjawab, kalian akan ke mana?”
“Pulang,” kata Tata.
“Ke mana?”
“Ke dunia kami,” Tata menyahut lagi.
“Dan di mana itu?”
Baba memakai celananya. “Simak baik-baik ya Anak Manusia, dunia kami bukan di sini sebenarnya, kami punya dunia sendiri. Petualangan kami sudah selesai, dan sekarang kami mau pulang karena teman-teman kami akan marah kalau kami tidak lekas pulang.” Baba memberitahuku layak menceramahi anak usia lima tahun.
“Boleh aku ikut?”
Baba bilang tidak boleh. “Makhluk sepertimu tidak sepatutnya pergi ke dunia yang bukan manusia,” imbuh Baba. Pernyataan itu disetujui kawan lainnya. Aku cemberut.
“Kalau kau tidak bisa pulang ke sini bagaimana?” Gigi menakut-nakuti. Kataku, aku tidak peduli. Seketika aku menyesal sehabis mengatakannya. Tetapi aku tidak menarik kata-kataku. Aku bingung sebenarnya. Mulutku bergerak mendahului pikiranku.
“Tidak usah berbohong, jelas-jelas kau ragu dengan ucapanmu sendiri.” Aku tak tahu kalau diam-diam Kuku mengamatiku. Kuku membaca pikiranku. “Pikirkan lagi keputusanmu.”
“Aku lelah berpikir teman-teman. Keputusan soal apa kemauanku, ingin tetap sekolah di Margarita atau home schooling seperti dulu saja, aku belum tahu jawabannya,” aku mengeluh di hadapan mereka.
“Suaramu bisa membangunkan Yosi. Ikut saja kalau begitu. Tidak ada waktu lagi!” aku diperintah Gaga masuk ke rumah Baba. Sementara kura-kura dan iguana tetap mendiami kandang sendiri-sendiri. Kelompok kura-kura di tiap-tiap rumah akuarium. Kelompok iguana di tiap-tiap rumah persegi yang bercelah kotak-kotak besi. Mereka pandai menghilang tanpa berpegangan tangan.
Baba menggenggam tanganku. Kakiku, pingguku, dadaku, tanganku, leherku, kepalaku, lenyap ditelan cahaya biru terang. Aku yang ada, menjadi tidak ada. Tubuhku lalu seperti tercerai berai. Tanganku di barat, kakiku di timur, kepalaku di utara, dada dan pinggulku di selatan. Semuanya lalu berputar-putar terbawa lesus. Bagaimana jika tubuhku ditemukan termutilasi di dunia sana? Sambil berputar-putar, aku ketakutan. Tetapi ketika angin berhenti, tubuhku utuh. Sel-sel menyatu sempurna, seperti semula. Seperti sebelum aku diblender oleh angin. Aku mual. Leo bilang terkadang memang begitu bila belum terbiasa. Aku tidak tahan lagi. Ingin kukeluarkan isi perutku. Hoek… hoek….
“Aw menjijikan.” Baba membelakangiku. Tata memukul-mukul punggungku, supaya semuanya bisa keluar. Rasanya lega. Tata juga memberiku sapu tangan. “Buat kau saja.” Ia menolak sapu tangan yang mau kukembalikan. Aku melihat sekeliling. Dan hanya ada padang rumput. Semuanya hijau dan luas. Angin sepoi-sepoi. Aku yakin, akan cepat mengantuk bila melakukan piknik di sini. Oh tidak. Aku melupakan bagaimana teman-teman hewanku berevolusi. Aku tidak melihat prosesnya. Barangkali karena sibuk muntah. Mereka kini lebih besar dariku seperti dewasa yang berusia dua puluhan. Kisaran seratus enam puluh lima sentimeter tingginya. Aku seratus empat puluh empat. Mereka berdiri tegak. Berjalan sepertiku. Tidak oleng. Seolah terbiasa melakukannya.
“Jangan melihat kami seperti itu. Tidak sopan.” Kuku menegur. Aku meminta maaf. Aku hanya bingung dengan penampilan baru mereka.