Kasian kota Bolu-bolu. Kota kesepian. Kanan kirinya cuma gurun. Mirip pengasingan. Terlampau terpencil. Paling dekat nomor dua dengan perbatasan. Yang pertama ialah stasiun Bayam. Padang rumput yang Baba dan kawan-kawan jadikan pendaratan ialah area yang mendekati pucuk kerajaan Tanah Madu. Berpuluh-puluh meter ke utara, pos tentara-tentara lebah penjaga perbatasan berada. “Kita beruntung tak jatuh ke tanah lain.” Kata Baba. Akan susah melewati para tentara perbatasan. Lebih-lebih Wawa bersama mereka. Wawa bakal dianggap penyusup lalu ditangkap. Ia belum punya dokumen pendudukan kerajaan Tanah Madu. Sekarang sedang dibuatkan. Ia mengantri ditemani si kelinci galak, Cici. Baba, Gaga, Gugu, Gigi, Tata, Leo, dan Kuku sibuk berlatih di tenda sirkus. Mereka perlu menajamkan kemampuan. Sudah lama mereka tidak berlatih. Pertunjukan sirkus diadakan dua bulan lagi jadi mereka tidak boleh santai-santai. Tenda sirkus tepat di atas gua bawah tanah.
Sangat canggung berdekatan dengan Cici. Ia masih membenci Wawa. Ia masih menentang Wawa bergabung dengan kelompoknya. “Terima kasih sudah mengantarku.” Jangan tersenyum, Cici bilang. Ia tidak sedang berbaik hati. Ia melakukannya karena Tata. Tata meminta tolong baik-baik padanya. Kalau tidak, ia takkan sudi. Ia benci Wawa, Cici ingatkan ia kembali. Seharian ini sudah ketiga kalinya Wawa mendengar pengakuannya. Wawa kebal akan ungkapan kebencian. Banyak orang yang benci padanya sebelum Cici. Mamanya, adiknya, mungkin papanya juga (meski cuma sedikit), ditambah siswa sekolah dasar Margarita alias pelaku pemajangan foto bayinya yang belum terkuak siapa aslinya.
“Kau orang ke lima yang benci padaku.” Wawa tersenyum maklum. Namanya dipanggil pembuat dokumen. Ia maju. Cici urung menanggapinya. Dokumen pendudukan itu digulung sampai kecil. Dimasukkan tabung kayu yang lubangnya seukuran dua kali sedotan plastik besar. Panjang tabung dua jengkal telapak tangan Wawa. Ada tali di kepala tabung. Pembuat dokumen bilang itu harus dikalungkan. Wawa pun patuh selesai menutup tabung miliknya. “Lewat sini, kita belanja dulu.” Wawa kembali. Ia mengikuti Cici di belokan yang mengarah ke pasar. Kota Bolu-bolu punya satu pasar. Pasar Ramai Sekali bila namanya diterjemahkan. Meski untuk satu kali makan, apa-apa yang dibeli sangatlah banyak. Layak menjamu tamu di pesta besar. Binatang-binatang sirkus Zaezaezoziezas punya nafsu makan lumayan besar.
Zaezaezoziezas. Z-nya banyak. Berasal dari bahasa Zyungyung tentu saja. Kebahagiaan maknanya. Mereka harap membuat semua penonton tertawa gembira berkat aksinya. Keluar tenda sirkus, penonton bahagia.
“Daging apa itu?” Ayam dan sapi, penjual daging bilang. Cici beli keduanya. Berpotong-potong daging ayam dan sapi mentah, dua toples nektar, sepuluh toples rayap goreng, lima ikat rumput jerami dan lima kilo wortel, sekilo kentang, lima toples cacing rebus dan lima ikat rumput, enam sisir pisang, enam kaleng ikan segar, lima tusuk burung-burung, dan dua belas ikat selada. Semua itu dimuat di gerobak dorong. Cici menyewanya dari penjual daging. Sisa tiga di sana. Cici pilih yang ukurannya sedang. Cici pula yang mendorongnya. Wawa dilarang membantu. Cici tak mau ambil resiko, menyerahkan pekerjaan itu pada pemula yang badannya lebih kecil dari gerobak.
“Gimana perjalanan kalian, menyenangkan?” Tata menghampiri Wawa dan Cici lebih dulu. Sangat, Wawa berseru. “Sama sekali tidak,” aku Cici datar. Ia mengambil daging-daging, membawanya ke tengah tenda. Binatang-binatang lain berhamburan, turut mengumpulkan makanan. Mengeluarkan wadah-wadah kayu dari dalam gua. Menata makanan di permukaan wadah-wadah. Malam tiba. Mereka mulai menyantap makanan-makanan. Wawa belum. Sesuatu mengganjal pikirannya. Kentang rebus di wadahnya masih utuh.
“Kau kenapa?” si ramah Bibi bertanya.
“Aku tak tahu apakah kata-kataku sopan atau tidak,” Wawa berbisik. “Apakah penduduk-penduduk di Tanah Madu saling memangsa untuk bertahan hidup?”