Bulu-bulu muka, leher, dan tanganku tumbuh selebat waktu. Aku tiga belas tahun sekarang. Aku pandai berkelahi. Tangan kosong bisa: diajari Bibi. Bersenjata bisa. Hanya tongkat tapi: diajari Baba. Yang tajam-tajam seperti pedang belum jago. Aku telah akrab dengan binatang-binatang selain Baba, Gaga, Gigi, Gugu, Bibi, Tata, Leo, dan Kuku. Butuh tiga tahun. Paling sulit ialah dengan Leon dan Coco. Singa betina, Lily tidak terlalu sulit. Ia memang lebih baik dari Leon. Ketiga bilby betina, Cui, Joi, dan Doki, tidak sulit. Mereka kelompok pertama yang minta maaf. Ketujuh bilby jantan, Mii, Fyo, Zoe, Guri, Keke, Lome, dan Joz, tidak sulit. Mereka kelompok kedua yang minta maaf. Aku memuji pekerjaan mereka. Gua galian mereka luar biasa. Aku langsung diajaknya berteman.
Kedua kelinci betina, Cici dan Pio, lumayan sulit. Mereka cuma ikut-ikutan Coco. Kedua kelinci jantan, Moni dan Zuh, lumayan sulit juga. Mereka tidak punya dendam tapi mereka tidak enak dengan Coco bila baikan denganku duluan. Kelima merak jantan, Jiyu, Wiki, Komi, Bubu, dan Hiza, cukup mudah. Mereka tak mau menambah daftar masalah. Mereka cuma mengikuti arus. Mereka cinta damai sebenarnya. Damai itu indah. Seindah ekor mereka, katanya. Mereka menyombongkan keelokan diri sebelum meminta maaf. Kami lalu berteman.
Keenam kucing jantan, Miu, Koko, Tow, Nam, Jyu, dan Oli, cukup sulit. Mereka sulit didekati. Tetapi mereka punya kelemahan. Mereka luluh bila diberi camilan ikan kriuk. Mereka lalu meminta maaf. Kubilang tidak apa-apa. Kami pun berjabat tangan sebagai teman. Ketiga ular betina, Zizi, Flo, dan Kai, lumayan gampang. Mereka cuma tidak ramah. Jarang tersenyum. Tetapi ketika aku tak sengaja tersenyum pada mereka, mereka membalas. Mereka minta maaf. Kumaafkan. Kami saling mengecup kening sebagai tanda pertemanan.
Kedua ular jantan, Mono, dan Poli, cukup mudah. Mereka mengajak bicara lebih dulu. Meski canggung, mereka bersusah payah menyampaikan maaf. Leher mereka bergantian membelit tanganku, menyambut teman baru katanya. Sejujurnya itu menakutkan tapi aku bertahan. Begitulah upayaku jaga sikap. Karena mereka yang tersinggung, kayaknya lebih menakutkan. Dan aku tidak mau membuat mereka tersinggung. Kelima elang jantan, Ele, Nemo, Lui, Zozo, dan Geo, betul-betul gampang. Mereka menghadiahiku kentang, satu per satu. Mereka tulisi kulit kentang dengan kata maaf. Aku maafkan. Besoknya kami berteman.
Leon dan Coco sama-sama gede gengsinya. Enggan meminta maaf duluan. Bibi menyuruh Lily dan Baba menendang bokong mereka. Dengan senang hati, ucap Lily. Leon mengaum sakit. Tenaga yang dikeluarkan Lily tidak main-main besarnya. Coco mengumpat di muka Baba. Baba tak peduli. Mereka berucap maaf sembari mengelus-elus bokong. “Tidak apa-apa.” Kataku meringis seolah turut merasai sakit tubuh bagian belakang. Keempat kelinci lain menyusul meminta maaf usai syarat terpenuhi (mau minta maaf asal Coco yang lebih dulu melakukannya).
Ingin jadi anggota Zaezaezoziezas (baca: Zezezozizas) mesti seleksi. Binatang-binatang itu baik. Kusebut baik karena mereka berlaku adil. Meski aku tinggal se-gua dengan mereka, mereka tidak langsung bilang “Wawa kau resmi jadi anggota sirkus kami,” tanpa susah-susah seleksi. Semua anggota sirkus seleksi dulu baru lolos. Bila aku langsung lolos, tidak adil buat lainnya. Aku terima syarat-syarat yang diujarkan Bibi sukarela. Jurinya ada tiga. Bibi, Baba, dan Lily. Ketiganya dipilih menjelang rapat malam, saat aku sibuk ngorok di kamar. Peserta seleksi tidak boleh gabung rapat tentu saja.
Lima hari kemudian terjadilah. Kami dilingkupi tenda sirkus. Aku berdiri di hadapan Bibi, Baba, dan Lily. Aku di panggung. Mereka duduk di area penonton paling depan. Tegang sekali. Muka serius mereka mengintimidasi. Aku menarik-keluar napas, menenangkan diri sebelum unjuk kebolehan. Empat puluh menit kemudian aku menarik-keluar napas lagi selepas dinyatakan gagal. Aku berkeringat. Lelah sekali bermain-main dengan tongkat, pamer gerakan serang maupun bertahan.
“Coba lagi tahun depan,” Lily kasih harapan. Baba bilang aksiku tidak jelek-jelek amat.
“Tapi membosankan.” Itu kata Bibi. Aku memikirkan komentar para juri sambil tidur-tiduran di lantai panggung. Para binatang lain berdatangan.
“Gimana?” Gagal total, kataku sambil duduk. Gaga menyayangkannya. Ia salah satu yang tidak sabar satu panggung denganku.