Zaezaezoziezas

Hary Silvia
Chapter #16

Filosofi Zaezaezoziezas

“Permisi Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, kami mau mengantar sarapan ke kamar Anda sekalian,” tutur pelayan kerajaan paling depan. Keempat puluh sembilan binatang berhamburan, menjauh dari satu ruangan. Kamar Bibi berangsur sepi. Rombongan pelayan lebah mulai beterbangan ke kamar-kamar. Meletakkan makanan-makanan berbau harum dan tampak lezat di meja kamar. Bibi bisa bernapas karena kamarnya lengang.

___

Pagi-pagi Bibi sudah diserbu teman-teman yang penasaran dengan pertemuan semalam. Cemas lebih tepatnya. Mereka takut ratu berbuat macam-macam. Yang dalam benak mereka tidak ada bagus-bagusnya. Bibi menolak berterus terang. Bibi bilang, tidak ada perbicaraan yang teramat penting. Cuma basa-basi. Ratu lalu berpesan agar mempersiapkan penampilan yang menakjubkan karena yang menonton bukan binatang-binatang sembarangan.

“Cuma itu?” Lily tidak percaya. Ya, cuma itu, kata Bibi. Hening sejenak. Teman-teman sirkus memikirkan hal yang sama. Mata bengkak Bibi sepulang dari istana. Mereka ingin tahu alasannya.

“Mata bengkakku sudah ada sebelum aku bertemu Ratu. Aku menangis karena sakit perut.

“Benar kan Wa?” Bibi meminta bantuan. Wawa rada terkejut sebab mendadak dilibatkan. Ia terpaksa mengangguk. Dan datanglah pelayan-pelayan. Bibi dan Wawa terselamatkan.

___

“Kenapa berbohong?” aku menanyainya. Bibi bilang ia tidak bisa bicara jujur untuk masalah ini. Aku menghabiskan sisa tehku. Aku sudah membantunya. Itu artinya Bibi utang penjelasan padaku. Bibi tampak keberatan. Tampak belum siap. Memangnya sebesar apa dan sedalam apa cerita yang ia sembunyikan rapat-rapat? sampai-sampai ia bilang “kalau mentalku sudah siap,” baru ia akan menceritakan semuanya. “Baiklah,” aku setuju tak memaksanya bercerita sekarang.

Tidak ada kegiatan pagi ini. Gladi bersih masih nanti malam. Aku meminta Bibi mengantarku berkeliling kota. Aku bosan di kamar terus. Aku ingin ke toko roti. Aku ingin melihat air mancur tengah kota lebih dekat. Penari jalanan yang kulihat dari jendela kereta juga menarik. Kain-kain yang dijual tampak lebih berwarna dibandingkan Bolu-bolu. Aku ingin merasakan teksturnya. Kelihatannya lembut andai kulitku bersentuhan dengan si kain.

“Satu per satu Nak,” Bibi menangkup telinganya karena aku bicara terlalu cepat, keras, dan bersemangat. Aku terkekeh.

“Ki-ta be-rang-kat,” aku berbisik. Berusaha melucu dengan melakukan kebalikan dari yang tadi. Tidak cepat, tidak keras, dam tidak bersemangat. Aku lihat Bibi terhibur. Barusan ia tersenyum.

Tidak hanya aku rupanya. Teman-teman sirkus lainnya juga mau berkeliling kota. Tapi kami tidak pergi bersama-sama. Kami pergi secara terpisah. Tujuan kami berbeda-beda. Pada akhirnya aku tetap berdua dengan Bibi. Bibi, si pemandu mulai bekerja. Toko roti adalah tempat terakhir, katanya. Selesai mengunjungi semua tempat perut kami pasti lapar dan toko roti ialah tempat yang tepat untuk membungkam nyanyian lapar si perut. Masuk akal, kataku. Air mancur tengah kota, bentuknya heksagonal. Heksagonal ibu (aku menyebutnya) paling bawah karena ia paling besar. Ia menampung air yang mengucur dari heksagonal bungsu paling atas. Heksagonal kakak ada tujuh, ukurannya berbeda-beda. Makin ke atas makin kecil. Heksagonal berpusing saling berlawanan. Aku ingin memotretnya, tapi tidak punya kamera. Airnya dingin saat aku menyentuhnya.

Lihat selengkapnya