Zaezaezoziezas

Hary Silvia
Chapter #17

Vas Bunga Penuh Ukiran

Ratu Barzita marah besar. Sirkus Zaezaezoziezas dipaksa bubar. Tentara lebah ia kumpulkan. Tentara lebah ia perintah memporak-porandakan tenda sirkus yang pemain sirkus bangun di kota asalnya. Lima puluh satu pemain sirkus dipulangkan. Digiring tentara kerajaan bak sekelompok tahanan. Perataan tenda disaksikan seluruh penduduk kota Bolu-bolu. Pemain sirkus betina tak kuasa menahan tangis. Kelakuan tentara terlalu kejam. Mereka tak segan memotong tali-tali yang memekarkan tenda. Rangka bagian dalam mereka ambrukkan. Tenda menguncup, mengempes lemah di tanah. Rangka baja bagian luar mereka tidurkan. Mereka cabut pasak-pasak yang menancap kuat di tanah. Pemain sirkus jantan menunduk. Menyembunyikan air mata. Menyembunyikan amarah. Menahan tinju mereka. Benarkah sirkus Zaezaezoziezas telah tamat? penduduk sana tampak cemas. Tidak mungkin, penduduk tidak percaya. Penduduk turut prihatin. Mereka merangkul, memeluk pemain sirkus. Menangis bersama mereka. Turut mengutuk ratu Barzita yang semena-mena. Sebidang tanah itu terang benderang. Tenda merah bergaris-garis putih tidak lagi memayunginya. Serasa kosong sewaktu pemain sirkus memandangnya, sebagaimana suasana hati mereka sekarang. Beberapa dari mereka masuk rumah. Sisanya mendampingi tenda yang layu di tanah. Menampar muka sendiri, bersikap seolah yang tengah dihadapinya sekadar mimpi. “Ini nyata,” kata mereka gemetar. Mereka meratap lagi.

___

“Apa sebabnya? Kenapa betina itu berubah makin sinting? Katakan pada kami apa yang kalian bicarakan saat itu di istana?” teman-teman sirkus pantas bertanya-tanya terkait itu, pada Bibi, Wawa, Tata, dan Baba. “Biar aku teman-teman.” Bibi mengambil alih. Ia bersedia menjelaskan segalanya. “Ini akan jadi cerita yang sangat panjang.” Bibi mengajak semuanya duduk santai. Mereka berkumpul di ruang tengah. Siap mendengar kisah yang Bibi sembunyikan lama.

___

“Teman-teman, Barzita dulu tidak sesinting itu. Oh tidak, memulainya langsung ke bagian itu rasanya terlalu cepat.” Bibi lalu merevisi bagian pembuka. Ia melakukannya dengan menguliti diri sendiri terlebih dahulu. Bibi bukanlah nama yang sebenarnya. Aslinya Barzaya. Ia keluarga kerajaan. Ia kakak kandung ratu Barzita. Anak sulung dari ratu sebelumnya, Biorka. Ayahnya, kesatria Kale. Dan cucu dari Razula, ratu sebelum Biorka.

“Hormat kami Tuan Putri Barzaya.” Para binatang mengubah posisi. Mereka berlutut dengan satu kaki. Tangan kanan menyentuh dada. Mereka tundukkan kepala mereka. Wawa meniru gestur itu belakangan, karena tidak tahu apa-apa.

“Jangan terlalu formal. Bersikap biasa saja.” Bibi mempersilakan mereka duduk santai kembali. Bersila di atas tanah tanpa merasa tegang sebab berhadapan dengan keluarga kerajaan. “Tetaplah tenang seperti itu,” kata Bibi. Mereka berteman. “Teman takkan membuat teman lain terbebani bukan?” Bibi menekankan. Para binatang pun mencoba berlaku seperti biasa.

Anak sulung kerajaan punya tanggung jawab sebagai penerus tahta. Tiap hari Barzaya selalu sibuk belajar. Segala ilmu ia pelajari. Ilmu politik, ilmu kemasyarakatan, ilmu ekonomi, ilmu alam, ilmu perang, ilmu pedang, ilmu seni, ilmu sastra, ilmu bahasa, ilmu budi, tata krama. Biorka mendidik anak sulungnya sangat ketat. Biorka takkan membiarkan anak sulungnya bermalas-malasan. Ia rajin menanyakan bagaimana perkembangan anak sulungnya melalui guru-gurunya. Ia akan marah bila Barzaya mendapat ulasan buruk soal pemahamannya terhadap ilmu. Semuanya kudu sempurna. Ilmu pedang dan ilmu perang sebetulnya tidak perlu dipelajari putri mahkota. Sebab nantinya, ratu bakal didampingi kesatria terkuat se-Tanah Madu. Kesatria yang tentunya pandai ilmu perang dan ilmu pedang. Kesatria pula yang nantinya mengawini sang ratu. Tetapi Biorka bilang, seorang ratu harus pandai melindungi diri.

Teori dan praktik tidak sama rasanya. Barzaya mampu menaklukan teori dengan mudah (meski terkadang bosan, menimbulkan kemalasan, dan berakhir dapat nilai memalukan). Tetapi praktik, masalah lain. Barzaya mendapat pelatihan pedang dari ksatria Kale, ayahnya sendiri. Pelatihan itu keras sekali. Berkali-kali Barzaya mau menyerah. Ia memoles diri menjadi si pemangkir. Sembunyi di manapun supaya tidak ditemukan dan disuruh berlatih. Ayahnya menyuruh para pelayan mencarinya ke mana-mana. Barzaya sembunyi di kamar Barzita. Barzita tujuh tahun saat itu. Barzaya dua belas tahun. “Kabur dari latihan lagi?” Barzaya mendesis, menyuruh adiknya diam. Takut pelayan yang mencarinya dengar. Barzita cuma mengeleng-gelengkan kepalanya heran melihat tingkah kekanak-kanakan kakaknya. Ia biarkan kakaknya berbuat semaunya. Ia lanjut menggambar vas bunga yang berdiri di hadapannya. Barzaya menempelkan telinganya di pintu. Terdengar suara langkah kaki. Ia panik. Kolong tempat tidur terlihat menjanjikan untuk dijadikan persembunyian. Tubuhnya merayap, masuk ke sana.

“Tuan Putri, apakah Tuan Putri Barzaya kemari?” pelayan betina, Komi bertanya.

“Apa Kakak menghilang lagi?”

“Benar Tuan Putri,” jujur Komi.

Lihat selengkapnya