Memang benar aku marah karena ulah tentara-tentara Barzita kemarin. Tetapi, semalaman aku malah memikirkan Barzita. Kurang lebih aku dan Barzita bernasib sama. Diabaikan Mama dan Papa sendiri. Aku belum mau bangun. Masih berbaring di kasur kapuk. Aku melihat langit-langit tanah. Kepalaku menggali memori masa kecil. Mama melarangku sekolah. Mama malu dengan bulu-bulu hitam di tubuhku. Mama yang teramat menyukai Alka. Mama yang memuji Alka cantik terus-menerus di hadapanku. Memeluknya, menciumnya tanpa ragu. Mama yang menyembunyikanku di rumah. Tidak membiarkanku berkeliaran di luar rumah karena bulu-buluku bisa membuatnya terhina. Kupikir tetanggaku baik-baik orangnya. Tidak mungkin mereka akan mengolok Mama hanya karena anaknya berbulu. Mama takut pada pikiran sendiri. Tetapi aku juga tidak tahu. Bisa jadi Mama benar. Bisa jadi tetanggaku tidak sebaik yang kupikirkan. Aku masih tiga belas tahun, belum banyak pengalaman. Belum banyak pengetahuan. Belum banyak bertemu orang. Kupikir hanya ada dua jenis orang di dunia ini. Orang baik dan orang jahat. Tetapi sesudah mendengar cerita Bibi, aku meragukan pikiranku. Tidak ada orang yang begitu dilahirkan langsung jahat. Barzita bukan orang tetapi ia sudah berevolusi. Semua binatang di Tanah Madu secerdas manusia. Barzita jahat karena ia dijahati. Di duniaku mungkin banyak yang seperti Barzita.
___
“Bibi, apakah kau membenci adikmu?” Aku duduk di sebelahnya.
“Itu pertanyaan sulit,” kata Bibi. Kami berada di luar. Di tempat tenda pernah berdiri. Bibi menyalakan api unggun. Api yang menyala-nyala itu memancing ingatan soal tongkat apiku. Aku menangis merindukan latihanku. Bagaimana bisa pertunjukan pertama dan keduaku menjadi yang terakhir? Padahal baru mulai tetapi dipaksa berakhir. Bibi menepuk-nepuk pundakku. Aku menghentikan tangisan.
“Tapi,” lanjut Bibi “kalau kau menanyakan apakah aku menyayangi adikku, jawabannya sangat.” Aku dan Bibi sama-sama diam. Terlena pikiran sendiri-sendiri. Aku masih memikirkan tongkat apiku. Bibi mungkin masih memikirkan adiknya. Sudah lewat seminggu, sejak hari penghancuran tenda. Rangka-rangka tenda masih terbaring di sana-sini. Rangka yang kecil-kecil, kami (semua pemain sirkus) satukan. Yang tinggi besar kami biarkan karena terlalu berat. Tendanya kami lipat. Kami belum tahu itu semua mau diapakan. Dijual atau disewakan atau disimpan. Teman-teman sirkus yang lain belum pulang. Sejak pagi mereka pamit mencari pekerjaan. Ular-ular betina pergi ke kelab. Mereka melamar sebagai penari tiang tanpa telanjang. Mereka tidak keberatan dengan pakaian minim (cuma menutup area paru-paru dan kloakanya) asal tidak mencopot semua pakaian. Menari sama dengan hidup, kata mereka. Mereka tak bisa melepas begitu saja apa yang sudah dilakoni sedari belia.
“Apa yang kau pikirkan?” kami sudah terlalu lama diam. Salah satu dari kami harus bersuara. Aku berinisiatif melakukannya duluan.
“Nenekku,” kata Bibi.
“Dia sudah tertidur selama lima tahun. Dokter sehebat apapun gagal membuatnya bangun.”
“Lalu?” aku penasaran dengan akhir ucapan Bibi.
“Aku ingin mencari penawarnya.” Katanya dokter manapun tak dapat mengobati neneknya, bagaimana ia bisa menemukan penawarnya?
“Aku pasti sudah gila.” Bibi mengatai dirinya dan (sepertinya) rencana dalam kepalanya. Aku masih menunggunya membocorkan rencana itu.
“Aku tidak akan mengejekmu, katakan saja!” Bibi menoleh padaku. Ia menarik napas, mempersiapkan diri.
“Nirwana Pengetahuan.”
___