Zaezaezoziezas

Hary Silvia
Chapter #19

Ketidaksengajaan Ialah Keberuntungan

Rumah si pelayan, Tasiah, kecil. Bersih. Nyaman. Hijau, merah, kuning, jingga, ungu di luar rumah. Itu taman milik pelayan Tasiah. Hijau, warna rerumputan. Merah, kuning, jingga, dan ungu, warna bunga-bungaan. Masing-masing bunga, Wawa tak tahu namanya. Wawa tanya Bibi. Bibi bilang ia lupa. Bibi bermuka serius sejak naik kereta pertama. Tampaknya pikirannya sedang penuh. Ia sampai melupakan nama-nama bunga padahal sederhana. Pelayan Tasiah sangat bahagia didatangi tuan putrinya. Ia sampai menangis melihat tuan putrinya baik-baik saja. “Syukurlah Anda baik-baik saja.” Pelayan Tasiah kebingungan karena tidak membawa sapu tangan saat menjemput tamu di pintu. Air mata bahagianya tidak berhenti mengalir. Wawa merogoh saku baju, kebetulan sapu tangan terlipat di dalamnya. Wawa merelakannya tanpa bicara. Ia berterima kasih selepas mengelap air mata dan bawah hidungnya. Sewaktu mau mengembalikannya, Wawa bilang ia boleh menyimpannya. Wawa punya banyak di tas. Ia persilakan Wawa dan Bibi duduk.

“Tasiah ini Wawa, teman baikku.”

“Wawa, ini Tasiah, pelayan istanaku dulu.” Begitulah Wawa dan Tasiah berkenalan melalui Bibi. Pelayan Tasiah panik karena kelupaan memberi tuan putri dan tamunya teh serta kudapan. Bibi bilang tak perlu terburu-buru pada pelayan Tasiah. Ia takut pelayannya itu terpeleset atau kesandung. Dan terjadilah yang ditakutkan Bibi. Pelayan Tasiah tersandung kakinya sendiri. Bibi menghampiri, menolongnya berdiri. Penyakit ceroboh pelayannya itu belum sembuh-sembuh sampai sekarang. “Tapi itu yang menjadi daya tarik saya Tuan Putri.” Cerita pelayan Tasiah berlanjut sesudah menaruh dua gelas teh dan setoples biskuit madu di meja tamu. Suaminya menikahinya karena sifat ceroboh Tasiah. Ia pikir itu lucu. Tetapi terkadang kecerobohan itu membahayakan Tasiah sendiri. Itu sebabnya ia selalu ingin berada di sisi Tasiah, demi melindunginya. Selang beberapa lama mereka memutuskan menikah. Sungguh kisah yang romantis. Meski terlambat, aku ucapkan selamat, ujar Bibi senang hati.

“Ibu!” tiga lebah kecil dan berlumpur berdiri di balik pintu belakang yang terbuka setengah. Mereka berteriak, mengadu tubuh mereka penuh lumpur.

“Sebentar ya Tuan Putri.” Tasiah menyelesaikan urusannya. Ia menyuruh anak-anak lebah mundur, menjauhi pintu belakang. Ia menyiram satu per satu anaknya dengan pipa panjang yang berasal dari kamar mandi. Mereka menyabuni tubuh sendiri-sendiri. Supaya sisa lumpur pekat di rambut-rambut badan dan kaki mereka hilang seluruhnya. Tasiah menyeka badan mereka satu per satu. Tubuh mereka akhirnya bersih. Tasiah pun memperbolehkan tiga anaknya masuk. Mereka beterbangan ke kamar. Mengganti baju mereka. Tasiah kembali menemui Wawa dan Bibi.

“Anak-anak yang lincah,” komentar Bibi. Saking lincahnya saya sering dibuat pusing oleh mereka, sambung Tasiah. Bibi tersenyum.

“Anak-anak, kemari!” trio lebah nan mungil datang bersamaan. Mula-mula mereka terkejut, ibunya bilang tamu di depannya ialah seorang putri. Lalu melompat girang di udara karena seorang putri bersedia mengunjungi rumah kecil mereka.

“Bolehkah kami bersalaman dengan Tuan Putri?” Itu permintaan mudah. Bibi langsung mengulurkan tangannya. Bergantian, mereka menyentuh tangan Bibi. Mereka mengangkat tangannya bangga, lalu berterima kasih pada Bibi. Sama-sama, jawab Bibi.

Bibi mulai memasuki inti permbicaraan. Ia butuh petunjuk soal domba peramal yang pernah mereka temui bertahun-tahun lalu. Bibi tidak terlalu mempercayai ingatannya. Waktu itu sudah lama sekali. Ia yakin telah melewatkan sesuatu. Ia yakin ada ingatan yang hilang. Raut muka Tasiah mengerut. Tengah menggali ingatan lampau.

“Stan berkelambu ungu, domba betina yang masih muda dan cantik, di dalamnya banyak warna ungu, domba peramal memberi Tuan Putri sesuatu. Cuma itu yang saya ingat.” Pundak Bibi mengendur. Ingatan Tasiah sama dengannya. Tidak ada petunjuk baru. Tasiah kurang senang melihat tuan putrinya murung. Ia coba ingat-ingat kembali. Tiga puluh menit kemudian, ia menyerah.

“Tapi Tuan Putri, untuk apa Tuan Putri mencari domba peramal?” Pelayannya mungkin takkan percaya apa rencananya, tetapi Bibi tetap memberitahunya.

“Aku ingin bertanya padanya bagaimana menemukan Nirwana Pengetahuan.”

“Bukankah tempat itu cuma dongeng Tuan Putri?” perkiraan Bibi tepat sasaran. Memangnya siapa yang mempercayai Nirwana Pengetahuan itu nyata? cuma Bibi seorang. Kemungkinan Wawa tidak betul-betul percaya. Ia hanya menemani Bibi saja sebagai kawan yang baik.

“Tapi aku akan tetap mencarinya demi Nenek. Aku ingin Nenek sembuh. Aku ingin keluargaku kembali utuh sebagaimana sebelumnya.” Suara Bibi bergetar sebab terbayang keluarganya. Ayah, ibu, nenek, bahkan Barzita yang mau meminjamkan kamar untuknya bersembunyi dari kejaran ayah maupun pelayan (yang bila ketemu bakal disuruh latihan pedang, ah melelahkan juga kalau Bibi ingat).

Lihat selengkapnya