Aku sedikit menyerupai Ann Darrow. Sama-sama mengendarai binatang raksasa. Ann Darrow naik kingkong. Aku naik kelabang hitam. Bedanya Ann Darrow tidak benar-benar melakukannya. Karena itu cuma film. Kalau aku betulan menungganginya. Kakiku yang memijak tumpukan biji-biji kopi membuatku tinggi. Mata kepalaku jadi bisa melihat pemandangan luar. Kelabang hitam menambah kecepatan sesudah aku dan Bibi aman dalam tas pinggangnya. Tadi, ia hanya menyesuaikan diri saat berjalan bersamaku dan Bibi. Dore tidak selambat itu ternyata. Tanah-tanah di kanan kiri Dore tidak sejelas sebelumnya. Tanah-tanah itu bergerak cepat. Tidak bisa kulihat lagi permukaannya yang padat. Apakah berlubang atau tidak. Apakah berbatu atau tidak. Apakah lembut atau kasar. Aku tidak sempat mengamatinya. Kecepatan Dore merayap, barangkali melebihi tiga ratus kilometer per jam.
“Dore, apakah kita memang harus segesit ini?” Benar, jawabnya. Perjalanan masih jauh.
“Anda bisa tidur kalau lelah menunggu. Saya akan beri tahu kalau sudah sampai.” Dore sangat bagus sebagai pemandu. Menyamankan yang dipandu dengan tutur kata sopannya. Jangan lupa geser ritsleting, Dore mengingatkan.
Ritsleting tidak kututup sepenuhnya. Harus ada rongga untuk keluar masuknya udara. Bibi ragu dirinya bisa tidur di atas biji-biji kopi yang menyengat. Tapi beberapa waktu kemudian, ia nyenyak duluan. Aku menyusulnya sesudah tanya berapa lama lagi akan sampai. Dua malam lagi, ucap Dore. Aku tidak bertemu seorang pun dalam mimpi. Duduk sendirian di ruangan serba putih cukup lama. Biji kopi lalu menghampiri. Mengobrol denganku akrab, seolah teman lama. Aku terbangun karena tubuhku diguncang-guncang oleh Bibi. Ia mengajakku makan bersama. Aku tidak tahu ini sarapan, makan siang, atau makan malam. Aku melahap dua roti karena lapar. Bibi menarik ritsleting ke samping. Kepalanya mengintip keluar.
“Dore, Anda tidak makan?”
“Saya sudah makan tadi, ketika Anda tidur.” Dore bilang, ia cukup kenyang hanya dengan biji-biji kopi. Bibi masuk kembali. Ia mengunyah roti miliknya yang tersisa tiga gigitan. Usai lambung kami sama-sama puas, aku dan Bibi terlelap lagi. Aku meneruskan obrolan dalam mimpi, bersama biji kopi.
___
Jalanan bawah tanah diakhiri tangga mendaki. Ekor Dore meliuk-liuk, menaiki anak tangga satu demi satu. Tercapailah daratan paling atas yang ia sebut stasiun kereta Kapas. Ia membangunkan betina dan anak perempuan yang enak-enakan menyambung mimpi. Dore memanggil mereka bergantian. Dore pikir, volume suaranya biasa-biasa saja. Tapi bagi Bibi dan Wawa tidak. Mereka keget bukan main dan bangun seketika. Dore menurunkan tasnya. Wawa dan Bibi meloncat ke peron. Pagi-pagi begini mereka diminta Dore sarapan benda mungil, hitam, dan pahit. Mereka sekecil semut. Cukup sebiji berdua dan cukup satu gigitan kecil (yang bekasnya takkan terlihat kecuali menggunakan lup). Pertumbuhan mereka langsung kelihatan. Perlahan-lahan, mereka balik ke ukuran semula. Wawa membaca nama kereta yang mendatar di sisi luarnya. Pintu kereta menganga. Dore bilang tak perlu beli tiket karena Wawa dan Bibi penumpang istimewa. Bibi dan Wawa duduk berdampingan. Tidak ada siapa-siapa selain mereka bertiga di gerbong tunggal itu.
Ini bukan kereta darat. Tapi udara. Itu sebabnya disediakan sabuk pengaman guna mereka lilitkan di perut.
“Dore, ke mana tujuan kita?” Persis yang ada di buku cerita, yaitu pulau Kapas, kata Dore. Kereta Kapas merupakan satu-satunya kereta yang menuju ke sana. Tidak ada lagi.
“Apakah kereta ini sama dengan jalanan bawah tanah? keduanya ada karena kami bersama Anda?” Tepat sekali, kata Dore. Tiap pemandu punya cara sendiri membimbing perjalanan. Dore pilih melintasi jalanan bawah tanah dan naik kereta terbang. Kereta Kapas menghidangkan sarapan. Peri-peri yang mengantarkan ke meja Wawa dan Bibi. Mereka semungil bayi meskipun sudah dewasa. Sayap mereka panjang seperti capung. Wawa mendapat nampan berisi soto. Bibi dua toples royal jeli. Wawa makan sambil menangis. Terharu karena sudah lama tidak menyantap makanan berkuah itu. Kuah kaldu, sobekan ayam, telur rebus, bihun, nasi, sambal, tomat, sedikit bayi kecambah, dicampur jadi satu. Amboi! sedap sekali.
“Wah…” royal jeli yang Bibi makan sekarang adalah yang paling membuat lidah panjangnya menari. Wawa dan Bibi bersendawa sewaktu peri-peri mengambil nampan kembali.