Itu sebabnya awan-awan butuh rantai kendali. Mereka lincah seperti lalat. Beterbangan ke sana, habis itu ke sini, detik kemudian ke situ. Mereka makhluk yang bebas. Tidak ada aturan yang mengikat mereka sepertinya. “Meski begitu salah satu dari mereka tetap harus kita ditangkap.” Pasti susah sekali, keluhku menanggapi Bibi. Pagi-pagi mereka ribut. Berkicau layaknya burung kenari. Mereka berlomba-lomba sampai ke puncak pohon manisan kapas. Kata Dore, manisan kapas makanan favorit mereka. Lalu apa yang bukan favorit? tidak ada, jawab Dore. Manisan kapas satu-satunya makanan awan. Tapi mereka tidak pernah bosan. Mereka selalu bersemangat melahap manisan-manisan kapas langsung dari pohonnya. Manisan kapas tidak bisa dibawa turun. Akan langsung habis dilalap angin gunung, sebelum pemanjat pohon menyentuh tanah. Manisan kapas berbeda dengan kelapa, mangga, rambutan, atau jambu air. Yang tetap utuh sesudah dipetik dan digendong turun dari pohon. Manisan kapas tidak bisa bertahan selama itu. Umurnya lebih pendek dari lalat capung.
Kulihat Bibi sudah mulai bergerak. Ia mengamati awan-awan yang terbang. Juga yang mengudara di tongkrongan. Tempatnya, turun selangkah dari puncak gunung. Sayap Bibi mengepak cepat. Ia melesat ke tongkrongan mereka. Awan-awan langsung berhamburan. Pergi ke mana pun asal tidak tertangkap. Katanya, mereka menolak diikat rantai kendali. Mereka mengeluh tidak bebas. Terasa mencekik sekali dikekang seperti itu. Rantai kendali tiada bedanya dengan kutukan jahat. Awan-awan itu memang selalu dramatis, komentar Dore. Aku tersenyum, sambil tidak sengaja menyemburkan udara dari hidungku, seperti naga. Tak kusangka Dore bisa berkata-kata pedas seperti itu. Bibi masih berusaha di atas sana. Kalau Bibi terbang cepat, awan-awan dua kali lebih cepat. Kalau Bibi meningkatkan ketangkasan, awan-awan menaikkan kewaspadaan.
Mata kepalaku berputar-putar, turut mengikuti lintasan Bibi mengejar awan-awan. Bibi ngos-ngosan di udara. Aku berteriak, menawarinya istirahat, makan siang, dan minuman. Bibi pun mendarat. Menenggak air putih tergesa-gesa dan sangat banyak. Berikutnya melempar potongan roti madu ke mulutnya. Bibi terbang kembali, membawa serta potongan roti yang masih sisa. Penangkapan belum berakhir. Bibi tak mau membiarkan awan-awan itu bersantai. Pipi Bibi penuh karena mendesak roti terakhir ke mulutnya. Awan-awan berkeliaran. Ada kelompok yang turun, bersembunyi di kaki gunung. Ada kelompok yang masuk hutan Air Hujan. Kelompok berikutnya menerbangkan tubuh menggumpalnya lebih tinggi. Menembus langit ketiga dan diam di sana. Bibi bingung mau mengejar yang mana. Akhirnya memutuskan memburu mereka yang kabur ke kaki gunung. Aku berlari memanggil Bibi. Ia menengok, melambaikan tangan, dan malah melejit ke bawah. Aku tidak sempat melarangnya ke sana.
“Dore, apakah tidak apa-apa? saya takut ia tersesat.”
“Ujian gunung Gulungan Awan sudah selesai, Nona Bibi pasti pulang dengan selamat.” Dore mengatakan itu dengan tenang. Kupikir aku memang tidak perlu mencemaskan Bibi.
“Kenapa kau tidak berapi-api seperti kawanmu?” segumpal awan tahu-tahu melayang-layang di sebelahku. Aku berpikir: aku tidak bisa terbang dan bertanya-tanya bagaimana aku bisa menangkap salah satu awan? Aku belum menemukan cara yang efektif dan efesien.
“Jadi begitu,” katanya, selesai mendengar alasanku.
“Sesungguhnya ada satu yang kupikirkan, tapi aku ragu akan berhasil.”
“Aku penasaran,” ucap si awan.
“Negosiasi.” Si awan mengataiku aneh. Lalu terbang begitu saja. Aku mengangkat bahu. Tidak mengerti mengapa ia bilang begitu.
Sore, kawanku baru pulang. Kata Bibi, ia gagal. Ia mengajakku mandi di sungai gunung. Aku mengiyakannya. Ia cerita kalau sebenarnya tadi hampir mendapatkan salah satu dari mereka. Tapi lepas karena Bibi kurang kuat menahannya. Itu hebat. Baru satu hari padahal. Kemajuannya sudah lumayan.
“Bagaimana denganmu?” Aku masih memikirkannya, jawabku. Bibi langsung terlelap usai mandi dan makan. Waktu tidurnya lebih awal dari kemarin malam. Ia berencana bangun subuh demi menangkap awan. Aku menatap api unggun yang berjoget-joget di hadapanku. Di sampingku, Dore berbaring memandang bintang-bintang.
“Dore, ketika mendaki gunung bersama, Anda dan Bibi tiba-tiba menghilang. Saya melihat sesuatu di gunung saat mendaki sendirian. Apakah Anda mengalami hal yang sama dengan saya?”
“Sesungguhnya tidak. Saya hanya pemandu jadi saya tidak diuji. Mungkin Nona Bibi yang mengalami hal serupa dengan Anda.” Aku sudah menduganya. Saat itu Dore memang terlihat sangat tenang sebagaimana biasanya. Tidak kusut sepertiku dan Bibi.
“Bibi memang melihat sesuatu tapi ia merahasiakannya. Katanya terlalu mengerikan. Ia ingin melupakannya saja, jadi tidak mau menceritakannya.”
“Tapi saya salut dengan Anda berdua. Anda berdua hebat. Anda berdua tetap memelihara tekad.” Aku menggeleng tidak setuju. Pujian Dore salah alamat. Tidak sepatutnya aku menerima kata-kata baik itu.
“Yang hebat itu Bibi. Jujur saja saya ingin menyerah waktu itu. Saya kehabisan energi karena penglihatan itu. Semangat saya patah. Saya meragukan diri saya untuk bisa sampai ke puncak. Saya tak mungkin sampai ke atas sini bila Bibi tidak menyelamatkan saya.”
“Segala hal yang ada di luar diri, hanyalah penunjang. Keputusan penting, tetap bergantung pada diri sendiri. Saat itu, bisa saja Anda meninggalkan Nona Bibi dan mengatakan Anda tidak ingin naik lagi. Tapi Anda tidak berbuat demikian dan memilih lanjut mendaki sampai puncak bersama Nona Bibi. Tidak banyak yang sanggup seperti itu. Dan menurut saya kegigihan Anda pantas dipuji.”
Aku malu karena pipiku basah. Air mataku berjatuhan seperti musim hujan. “Maaf,” kataku.