Ratu Barzita melarang tim dokter istana meneruskan penelitian. Ini sudah dua tahun, katanya. Neneknya belum juga bangun karena percobaan mereka terus gagal. Penawar racun bunga olianzar takkan pernah sempurna dibuat. Razula hanya rutin disuntik cairan axin dan dibiarkan koma.
___
Aku lelah menonton film yang tidak ada happy ending-nya. Cukup, aku mengadu pada Bibi. Aku bertanya soal Tasiah mengapa ia tidak lagi bekerja di istana. “Ia dipecat setelah insiden itu. Sebelumnya ia turut dijebloskan di penjara dengan tuduhan lalai karena tidak memastikan teh buatannya aman.” Bibi yang memohon pada Barzita agar melepaskannya pulang. Bibi bilang, “bila kau tak bisa membebaskan Ibu dan Ayah kerena benci mereka, setidaknya lepaskan Tasiah karena aku tahu kau tidak membencinya. Kasih sayang Tasiah padaku dan padamu sama.” Barzita mengabulkan permintaan terakhir itu sesaat, sebelum Bibi mengibarkan sayapnya ke langit dan tidak kembali.
Aku dan Bibi keluar dari ruang teater, di bawah lampu menyala. Kalau Bibi bisa melihat film hidupnya, berarti aku juga bisa melihat filmku sendiri. “Tentu saja,” jawab Bibi. “Apa kau mau melihatnya?” Tidak terima kasih, kataku. Aku belum siap. Kisahku sama dramatisnya. Tak jauh beda dengan Bibi. Aku belum mau menangisi drama sendiri. Aku dan Bibi turun ke lantai tiga. Ia masuk ke laboratorium. Kembali membuat penawar racun olianzar dibantu tiga serigala peneliti. Segala sesuatu yang ingin diketahui akan difasilitasi. Seberapa pun merepotkannya. Begitulah hebatnya Nirwana Pengetahuan. Tapi maksud di balik kebaikan-kebaikan yang Nirwana Pengetahuan kasih, kami belum tahu apa. Tidak mungkin mereka cuma mau mempraktikkan kedermawanan. Pasti mereka punya motif tertentu mengapa kami diundang ke sini.
Aku bilang ke Embun, mau berkeliling. Embun menutup bukunya. Ia siap mengantarku dan menjelaskan seisi Nirwana Pengetahuan layaknya Dore. Ah, aku jadi merindukan Dore, apa kabar ya dia? sayang sekali ia tidak ikut kemari. Katanya tugasnya telah selesai. Hanya mengantar sampai gunung Gulungan Awan. Kepulanganku nanti diserahkan pada awan. Tetapi aku sudah janji pada Embun kalau ia cukup mengantarku ke Nirwana Pengetahuan, tidak sampai pulang.
“Tapi aku ingin sendiri.” Kataku. Yakin? kau tidak akan tersesat kan? Embun memandangku seolah aku ini anak kecil atau hewan kecil yang ke mana-mana harus ditemani induknya.
“Kau tidak perlu khawatir. Aku akan kembali dengan selamat.” Baiklah, tutupnya.
“Tunggu dulu,” Embun mencuil sedikit tubuhnya.
“Au!” Itu suaraku. Meski sudah dua kali melihatnya, aku masih belum tebiasa. Apa dia betulan tidak merasakan sakit? Embun tampak baik-baik saja. Bagian yang terpotong tumbuh lagi. Embun melubangi awan kecil di tangannya itu seperti donat, menarik-narik sisinya hingga membentuk lancip-lancip mahkota. Ia menyuruhku memakai mahkota awan di kepala. Katanya supaya tidak diusir. Mahkota itu adalah bukti bahwa aku datang bersama awan.
“Sekarang pergilah!” Embun lanjut membaca cerita detektif yang tersisa hanya tujuh lembar.
Aku main-main ke lantai empat. Di sini cuma aku yang tidak ditemani awan. Suasana di sini sama tenangnya dengan lantai-lantai lain. Mereka semua menunduk, memelototi buku sendiri-sendiri. Tidak tertarik dengan pemandangan sekitar, seperti menengok padaku (manusia yang baru datang). Nirwana Pengetahuan dominan abu-abu dan putih. Atap putih, lantai abu-abu, rak buku putih, bulu-bulu serigala abu-abu, seragam penerima tamu abu-abu, seragam petugas perpustakaan yang mondar-mandir menata buku putih, meja kursi di ruang baca putih. Kecuali ruang terater yang kudatangi dan buku-buku. Sepuluh kursinya merah. Serigala pemutar film mengenakan rompi dan celana ungu kotak-kotak. Buku-buku berwarna-warni. Buku-buku di lantai empat berkenaan kesusastraan dan seni: sejarah sastra di berbagai dunia, karya-karya sastra, teori-teori sastra, seni musik, ragam alat musik, musik klasik, musik pop, ragam genre musik, musisi-musisi yang berpengaruh dalam perkembangan musik, seni pertunjukkan, teater, sirkus, sandiwara, drama, dan sebagainya.
Di sini, ruang baca berbagi lantai dengan aula pertunjukkan musik klasik. Pintunya tertutup. Ada tulisan digital orkestra sedang berlangsung di ubun-ubun pintu. Dindingnya mengandung bahan khusus sepertinya, jadi suara musik tidak bocor keluar. Ruangannya tidak terlalu besar, kemungkinan berkapasitas kurang dari lima ratus penonton. Aku berjalan beberapa langkah. Menempelkan hidungku ke kaca jendela. Rumput di bawah sana kecil dan jauh sekali. Tampak tak terjangkau. Kurasakan sensasi geli pada perut kala menengok ke bawah. Membayangkan tubuhku terjun. Kepalaku pasti akan langsung hancur.
Aku sudah tahu isinya lantai lima. Aku memandang ruang teater dari luar. Apakah aku siap melihat film hidupku? Jawabanku masih sama, tidak. Aku masuk lift. Seseorang mengatakan tunggu. Kutahan pintu lift terbuka sampai ia berhasil masuk. Terima kasih, katanya. Ia perempuan. Ia manusia. Sekali lagi, ia manusia. Sejauh ini, pertemuan ini yang paling aneh. Selain karena ia manusia. Ia dan aku sebangsa. Ia ngomong pakai bahasa Indonesia.
Halo, sapaku. “Benarkah Anda manusia?” Iya, saya manusia, sama seperti Anda, ia berkata. “Bukankah Anda tidak seharusnya di sini?” aku bertanya.
“Kenapa saya tidak bisa di sini?” ia bertanya sambil tersenyum bingung. Sebelah alisnya naik.
“Karena Anda manusia, semestinya Anda berada di dunia manusia,” ia melihatku dari bawah ke atas setelah aku bilang begitu.
“Anda juga manusia, tapi Anda di sini. Bukankan kita sama?” pintu lift terbuka. Ia keluar duluan. Jalannya cepat sekali, tampak buru-buru. Aku mengejarnya.