Nama si nona yang dandanannya mirip sekretaris adalah Mei. Mei menjemput kami di depan ruangan Tuan Aburama, mengantar kami sampai pintu utama Nirwana Pengetahuan lantai satu. Sampai jumpa, ujarnya. Mei juga mengucap salam perpisahan pada Taku dan Taki. Mereka kutu rambut yang dipinjamkan Tuan Aburama pada kami. Taku diam di kepalaku. Taki diam di badan Bibi. Taki dan Taku bisa membaca hati. Taku dan Taki bisa membesar dan menguat bila diperlukan. Mereka pengawal yang dapat diandalkan, kata Tuan Aburama.
___
Tuan Aburama menyebutku dan Bibi, manusia dan lebah yang ragu-ragu. Aku dan Bibi tidak benar-benar ingin pulang. Kemauanku dan Bibi setengah-setengah. Setengah mau pulang, setengah tidak mau pulang, kata Tuan Aburama. Itu tebakan yang beruntung.
“Anda tidak salah mengatakan saya ragu-ragu. Menonton film hidup sendiri, membuat keyakinan akan kekuatan saya, menurun. Yang mau saya hadapi bukan binatang asing melainkan adik sendiri. Saya takut, perasaan sayang pada Barzita mengambil alih pemikiran yang bersumber dari akal sehat: Barzita salah dan harus dihukum. Saya takut kalau tiba-tiba menjadi lemah.” Tuan Aburama anteng menyimak ungkapan terdalam Bibi. “Tapi,” lanjut Bibi “saya pikir, keragu-raguan bakal menghilang begitu saya menapaki Tanah Madu. Jadi, saya mau mencoba pulang terlebih dahulu. Saya ingin merasakan bagaimana keragu-raguan saya, pelan-pelan menjelma keyakinan.”
“Bagaimana dengan Anda Nona Wawa?” Tuan Aburama ganti memandangku. Ia belum menanggapi ungkapan jujur Bibi.
“Saya pikir, kata pulang bukan untuk saya. Saya tidak yakin saya punya rumah. Rumah itu lebih cocok dinamai rumah Mama, rumah Papa, dan rumah Alka. Lalu rumah lainnya adalah rumah Oma. Rumah Wawa tidak ada. Rumah bawah tanah di Bolu-bolu bukan punya saya.” Bibi menggenggam tanganku. Mungkin iba padaku. Aku tidak berani membalas mata mata Bibi. Aku tidak mau menangis. “Saya mohon pada Tuan Aburama agar mengizinkan saya mengikuti Bibi. Saya ingin membantunya. Saya akan kembali ke sini begitu misi berhasil.”
“Ya, saya memang mengizinkan Anda berdua menyelesaikan misi. Anda tidak perlu memohon soal itu Nona Wawa.”
“Saya hanya ingin mulai membiasakan diri sebagai bawahan Anda, Tuan Aburama. Bukankah bawahan harus izin pada atasannya bila ingin pergi sebentar, di luar tugas yang diberikan?”
“Ya, Anda benar Nona Wawa. Tapi aturan-aturan petugas perpustakaan bisa dibicarakan nanti. Sekarang saya mau mengajak Anda berdua bertaruh.”
Kemantapan hati kami, yang dijadikan taruhan. Bila ketetapan hati kami tidak berubah atau masih setengah-setengah, maka kami harus kembali ke Nirwana Pengetahuan, bergabung dengan serigala-serigala pengurus buku. Taku dan Taki-lah pengawas kami.
“Taku dan Taki akan hilang dengan sendirinya kalau Anda berdua betulan mau pulang.” Taku dan Taki mengecil. Taku melompat ke kepalaku. Taki melompat ke badan Bibi.
“Anda sungguh tak mudah diprediksi, Tuan Aburama.” Kata Bibi.
“Terima kasih.”
Padahal itu bukan pujian. Lebih ke sindiran halus. Karena Tuan Aburama belum sepenuhnya mempercayai kami.
___
Embun bersedia mengantarku pulang ke Tanah Madu. Saat kutanya mengapa (aku penasaran karena tidak sesuai perjanjian), Embun bilang itu bonus darinya, karena aku tak memakaikan rantai kendali padanya. Kukatakan padanya, terima kasih. Embun bukan hanya baik, tapi sangat baik. Aku menaiki punggung Embun. Bibi menaiki punggung Biru. Kami terbang sesudah sarapan. Pohon-pohon manisan kapas, tinggi menjulang di belakang gedung Nirwana Pengetahuan. Jadi Embun dan Biru tak perlu repot-repot mampir ke gunung Gulungan Awan hanya untuk makan. Kami minta diturunkan di depan stasiun Bayam. Sengaja, supaya tidak menarik banyak perhatian. Stasiun Bayam selalu sepi. Kalaupun ada yang lihat awan ajaib, tak bakal ada yang percaya, andai ia berniat membocorkannya.
“Sekarang lepas!” detik kemudian rantai kendali milik Biru hilang, begitu pula gelang pengendali Bibi.
“Kau tidak mengikatku seumur hidupmu?” Karena biasanya memang begitu. Makanya Biru kaget dan bingung kala Bibi melakukan hal berbeda.
“Tentu saja tidak,” kata Bibi “urusan kita selesai sampai di sini.” Biru bersorak, bersalto di atas kepala kami merayakan kebebasannya. Kulihat Embun tersenyum. Matanya berputar-putar mengikuti gerakan Biru. Embun melayang pergi sesudah kuajak berjabat tangan. Tanda berakhirnya kesepakatan.
“Selamat tinggal!” salam pisah dari Biru.