Zaezaezoziezas

Hary Silvia
Chapter #28

Rumah Nona Mei Separah Neraka

Tuan Taki tidak muncul. Tuan Taki telah menghirap dari rambut badan Barzaya. Itu artinya hati Barzaya mantap pulang sepenuhnya. Sebutannya bukan lagi lebah yang ragu-ragu. Tapi, lenyapnya Tuan Taki, membuat Barzaya tidak selamat dari penusukan. Tuan Taki tak bisa menolong Barzaya.

___

Barzita berbaring di tanah. Barzita melihat ibunya menonton dari teras istana lantai dua. Biorka pucat, lusuh, dan tak terawat. Penjara menyihir ibunya: dari elegan berubah mengerikan. Barzita tersenyum. Tidak kasihan sama sekali pada ibunya. Malah kebenciannya makin meruak, ia pungut pedang dari tanah. Punggung Barzaya ia tusuk. Barzita menengok ibunya. Ia syok. Ia panik. Sebentar lagi ia pasti lari ke sini demi anak kesayangannya. Barzita pingsan karena yang ia lakukan tadi adalah tenaga pamungkasnya. Sayang sekali, pikir Barzita. Ia tak bisa menertawakan muka cengeng ibunya.

Barzita baru tertawa begitu ibunya memaki dan menamparnya di balik penjara menara. Tak hanya muka sembap ibunya, muka frustasi ibunya juga jenaka. Barzita bilang ia tidak menyesal sama sekali membunuh kakaknya. Sebaliknya, ia menikmatinya. Ibunya menamparnya lagi. Lebih keras. Sampai Barzita terjatuh dari kursi. Mulutnya berdarah.

Barzita mestinya bersyukur sebab lolos dari hukuman penggal kepala. Padahal dosa-dosanya berlipat. Tuduhan palsunya pada Ratu, meracuni Razula, merebut tahta, mengasingkan Ksatria Kale, membunuh putri mahkota. Belas kasih Ratu Biorka pada bungsunya masih sisa. Alih-alih membiarkannya terbunuh di hadapan rakyat Tanah Madu, Ratu Biorka lebih memilih menyetujui putusan: Barzita membusuk selamanya di penjara menara.   

___

Tuan Taku bilang, aku tak bisa lebih lama lagi di Tanah Madu. Cuma sampai mengantar mendiang Tuan Putri Barzaya (rasanya aneh menyebut Bibi begitu, bisa kudengar protesan Bibi waktu aku ikut-ikutan memanggilnya Tuan Putri Barzaya) ke pemakaman. Aku pamit. Pada Ratu Biorka, Ksatria Kale, Baba, Tata, Zizi, Flo, Kai, Kuku, Leo, Gaga, Gugu, Gigi, Cui, Joi, Doki, Mii, Fyo, Zoe, Guri, Keke, Lome, Joz, Leon, Coco, Cici, Pio, Moni, Zuh, Jiyu, Wiki, Komi, Bubu, Hiza, Miu, Koko, Tow, Nam, Jyu, Oli, Mono, Poli, Ele, Nemo, Lui, Zozo, Geo, Lily, Azu, Amor, Cimu, dan Tori.

Tata mencemaskanku. Baba sama. Aku sudah ulang tahun, aku empat belas tahun, aku telah tumbuh dewasa, aku punya tujuan sendiri. Kurang lebih jawabanku begitu. Baba dan Tata pun mencoba mengerti. Aku tak menyembunyikan ke mana aku pergi supaya mereka tak terlalu merasa kehilangan. Ratu Biorka bertanya apa yang kuinginkan sebagai imbalan menyelamatkan ratu ke sebelas, Razula. “Saya ingin Anda kembali memerintah kerajaan Tanah Madu dengan bijak dan senantiasa berpihak pada rakyat.” Itu pasti, kata ratu Biorka. Apalagi? tanyanya. “Ongkos pulang,” aku tersenyum malu. Ratu Biorka bilang itu permintaan kecil. Ia memberiku sekotak penuh koin-koin besar dan kecil rat. “Cukup?” Ia bertanya. Lebih dari cukup. Malah kebanyakan. Kotak itu terlalu besar. Tidak akan muat jika kumasukkan dalam tas. Aku meraup koin secukupnya lalu kuselipkan dalam kantung serut mungilku (manusia menyebutnya dompet). Ratu terlihat kaget. Mungkin Ratu tak menyangka, koin-koin yang kubutuhkan cuma sedikit. Benar-benar meminta ongkos pulang dalam artian sesungguhnya. Aku berterima kasih dan langsung pergi menuju stasiun. Aku menolak diantar kereta kerajaan. Aku pilih berjalan kaki. Masih mau melihat-lihat dan berlama-lama di jalanan kota sebelum betul-betul meninggalkan kota.

Tuan Taku melarangku menyalahkan Tuan Taki. Tuan Taki menghilang di tengah-tengah Bibi dan Barzita saling serang. Itu sebabnya ia tak bisa menolong Bibi. Aku mengerti, kataku merespon ucapan Tuan Taku. Bibi menempel di mana-mana. Di toko roti, di tepi air mancur, di jalanan, di toko kain, di antara kerumunan binatang, di emperan kedai makanan. Mataku basah. Teringat kenangan bersama Bibi di banyak tempat. Di stasiun dan di dalam kereta ke satu sampai ke tiga, Bibi di sebelahku. Ia lenyap begitu mulutku ingin mengajaknya bicara. Aku menangis lagi. Stasiun terakhir, stasiun Bayam. Aku berjalan sampai pintu keluar. “Tuan Taku, bagaimana cara kita pergi ke Nirwana Pengetahuan?” Tuan Taku melompat keluar dari rambutku. Ia membesar. Ia suruh aku naik ke punggungnya. Aku menurut. Tuan Taku bisa melompat jauh. Satu lompatan sama dengan lima ratus mil, mungkin. Ia juga bisa melompat tinggi. Cukup dua kali melenting dari kaki gunung Gulungan Awan, kami sudah sampai ke puncak. Aku tidak sempat menyapa Embun karena Tuan Taku langsung melesat laksana roket, menuju langit ke lima. 

Nirwana Pengetahuan masih sama rupanya. Megah dan bercahaya. Tuan Taku balik ke ukuran semula. Ia diam di rambutku. Aku naik lift beturut-turut. Ruangan Tuan Aburama yang kutuju. Tuan Aburama duduk di belakang meja. Tuan Taku pulang ke kotak kaca yang ada di ruangan Tuan Aburama. Kotak itu tempat tinggal Tuan Taku bersama istri-istri dan anak-anaknya. Aku iri pada Tuan Taku karena ia punya tempat pulang.

“Jadi, Anda masih manusia yang ragu-ragu? Atau Anda berpura-pura menjadi manusia yang ragu-ragu?”

“Anda lebih tahu dari saya.”

“Tapi saya ingin mendengarnya langsung dari mulut Anda.”

Aku menghela napas. Selalu merasa seperti sedang mengikuti ujian lisan tatkala berbicara dengan Tuan Aburama. “Yang kedua. Jawaban saya yang kedua. Tapi saya punya alasan mengapa ‘berpura-pura menjadi manusia yang ragu-ragu’.” Aku memang menahan Tuan Taku pergi sesudah ia menyatakan pamit. Saat itu kami masih di istana Tanah Madu. Kukatakan ingin kembali ke Nirwana Pengetahuan meski memiliki kemantapan hati ‘ingin pulang’. Aku memohon padanya supaya membawaku menemui Tuan Aburama. “Karena saya butuh pekerjaan. Saya butuh uang. Saya ingin membangun tempat pulang milik sendiri, di dunia saya,” aku melanjutkan. Aku mendengar dari Nona Mei, Tuan Aburama menggaji pekerja-pekerja perpustakaannya dengan koin emas.

“Saya mengerti keresahan Anda soal tidak memiliki tempat pulang, akan tetapi tempat pulang bukan sekadar rumah kosong yang mau Anda huni. 'Tempat pulang' yang Anda inginkan tidak bisa disebut layak apabila Anda tetap merasa kesepian begitu hidup di dalamnya. Anda masih muda. Masih banyak waktu, untuk Anda mengatur ulang pikiran tentang bagaimana tempat pulang yang betul-betul bisa membuat Anda nyaman.

Lihat selengkapnya