Zaezaezoziezas

Hary Silvia
Chapter #30

Episode MAPA Kelar

Episode MAPA kelar. MAPA kepanjangannya, Mama, Alka, Papa, aku. Sekarang masuk cerita baru. Episode penuh, aku dan Oma. Tidak perlu disingkat karena cuma dua orang. Tinggal di rumah Oma syaratnya cuma satu, merawat piaraan-piaraan Oma. Binatang-binatang itu bikin aku kaget. Mereka terlalu mirip dengan Baba, Kuku, Tata, Leo, Gaga, Gigi, dan Gugu. Kupikir itu mereka, awalnya. Kuajak mereka bicara, mereka cuma diam. Baba tidak membalasku dengan bahasa sama. Uuuuk aaaak uuuuk aaaak, yang aku tidak paham sama sekali maknanya. Nama mereka tidak berubah, mereka juga sejenis dengan Baba dan kawan-kawan. Namun, mereka bukan binatang-binatang yang kukenal. Baba dan kawan-kawan sudah pulang. Aku harus terima kenyataan.

Aku menipu (suara tawa). Belum sepenuhnya rampung, masalah aku dan Mama. Alis Mama menukik marah di luar pagar besi rumah Oma. Menungguku. Waktu aku keluar, meminta Mama pulang baik-baik, Mama menolak. Mama menarik paksa aku untuk ikut mobilnya. Di dalam ada Alka. Kata Mama, Alka ingin ketemu. Aku tahu itu alasan yang dibuat-buat oleh Mama. Aku berteriak minta tolong pada Tante Dayu yang sejak tadi mengawasiku sesudah membiarkanku mendatangi Mama. Karena cuma dewasa lain yang bisa membantu anak-anak yang diganggu dewasa satunya. Tante Dayu berhasil membuat Mama membebaskanku. Tante Dayu mengancam akan lapor polisi dengan tuduhan: penyiksaan anak. Mama pulang sebelum Tante Dayu menemukan kata-kata usir. Selepas itu, Mama mundur, tidak lagi menampakkan diri di hadapanku, lebih-lebih di hadapan Tante Dayu dan Oma. Mama takut di penjara. Mama punya kenangan buruk dengan jeruji besi. Mama pernah dikurung seminggu di dalamnya, ketika aku masih bayi. Rumah Sakit Jiwa… apalah apalah, aku tidak tahu namanya.

Oma wanita terhormat. Memperlakukan orang lain dengan hormat pula. Aku yang cuma anak kecil, juga dihormati pilihan serta perasaanku. Hubungan kami layaknya teman. Aku baru tahu bila anak kecil dan orang dewasa bisa berkawan. Aku berhubungan baik dengan guru Nushka dan guru Lin. Tapi, mereka tidak kuanggap teman, melainkan teladan. Kata-kata dari mulut mereka selalu enak dan mencerahkan. Mula-mula cerita Oma hanya tentang piaraannya. Musim-musim berikutnya, berkembang. Oma jadi lebih terbuka. Oma yang waktu kecil dirawat kakek-neneknya. Ibunya yang masih remaja melahirkannya dan meninggal. Ayahnya yang kabur. Itu menyedihkan. Kulihat Oma malah tersenyum. Kepedihan itu bukan apa-apa lagi sekarang, bagi Oma. Kakek-neneknya sudah cukup melimpahinya kasih sayang. Dan Opa adalah keping puzzle terakhir yang melengkapi hidup Oma.

Tante Dayu bilang, adanya aku di rumah Oma terasa melegakan. Oma jadi tidak kesepian. Kepergian Opa, memukul keras batin Oma. Sedih Oma belum benar-benar hilang seluruhnya. Tapi, hingga sekarang, bisa Tante Dayu saksikan perubahan Oma pelan-pelan. Senyum Oma mulai kelihatan. Dan itu semua berkat aku, kata Tante Dayu. “Terima kasih Nona Kecil.” Tidak Tante Dayu, yang mestinya berterima kasih itu aku, pada Oma. Bahkan sepertinya, ucapan dan bentuk terima kasihku rasanya tidak cukup. Oma telah berbuat banyak untukku. Membebaskanku dari rumah itu. “Nyonya Yosi dan Nona Kecil sangat cocok bersama. Dua-duanya orang baik.” Tante Dayu harap aku dan Oma selalu diliputi kebahagiaan selamanya. Itu doa yang bagus. Aku juga mau bahagia selamanya. 

Tante Dayu tidak tahu tentang janji yang kuucap saat kelas lima di hadapan Oma: tinggal di sini cuma sampai usia dua puluh lima. Sekarang, aku sudah kelas delapan. Empat belas tahun usiaku. Berarti kurang sebelas tahun lagi, pisah dengan Oma.

Kebiasaan Oma berubah baru-baru ini, ia mulai melarangku menghitung seberapa lama sisa waktu tinggalku. Cara Oma melarang beda dengan Mama. Kalau Oma begini: “kamu bisa tinggal di sini sebanyak yang kamu mau, nggak perlu dihitung-hitung, kamu boleh di sini sampai usia seratus tahun, dua ratus tahu, tiga ratus tahun.” Aku hanya tertawa. Mana mungkin manusia hidup sampai tiga ratus tahun? Oma ternyata bisa melawak. Cara Oma melarang adalah sambil bercanda. Tidak meledak-ledak seperti Mama.

Oma bilang, aku tidak merepotkan. Memang Oma menganggap semua anak-anak menyusahkan. Tapi aku tidak begitu, katanya. Aku pandai merawat kamar dan barang-barang milik sendiri. Piaraan Oma juga kurawat dengan baik. Itu artinya aku betulan sayang binatang, Oma yang menilai. Oma senang serumah dengan yang punya rasa cinta pada binatang. Obrolan kami jadi banyak yang nyambung.

Papa kadang-kadang datang ke rumah. Saat itu, pertama kali Papa kemari, kupikir Papa ada perlu dengan Oma. Kukatakan akan menelpon Oma untuk memberitahukan kunjungan Papa. Anehnya Papa bilang tidak perlu. Papa kemari karena ingin menemuiku. Alasan yang lebih aneh lagi. Duduklah aku menemani Papa di ruang tamu.

“Papa kemari cuma ingin tahu kabar anak Papa.” Anak Papa? Tumben sekali Papa mengakuiku.

“Aku baik Pa.” Syukurlah, kata Papa. Papa lalu bertanya kesukaanku. Apakah aku suka ikan? Seleraku sama dengan Papa, ayam bakar, ikan bakar.

Lihat selengkapnya