“Sa! Mister Dev tunggu lu, malah bengong gitu sih,” tegur Irma. “Sa, lu kenapa sih?” Irma kembali menegur, tak biasanya ia melihat Nalsa lambat meresponsnya, apalagi menyangkut bos mereka.
Nalsa terpancing dari lamunannya, ia menoleh dan ia dapati Irma di sebelahnya. “M-mbak, ada apa?” ia tertegun, bingung dengan pertanyaannya sendiri. “Maksud gua, kenapa Mister Dev panggil gua, Mbak?” tanyanya, setelah ia berhasil mencerna informasi Irma tadi.
“Ya, enggak tau lah, lu buat masalah kali,” jawab Irma, bergurau.
“Enggak kok Mbak, hari ini gua belum buat masalah,” balasnya, merasa tertuduh.
Irma terkekeh. “Enggak tau juga gua. Datengin aja dulu lah, dia pan bae sama lu mah,” kata Irma.
“Bae dari mana sih, Mbak,” sangkal Nalsa.
Irma pun terbahak. “Udahlah, lu datengin gih. Paling ada tugas baru buat lu,” katanya.
“Oke deh, thanks ya, Mbak,” ucap Nalsa, seraya berjalan menuju ke lantai atas.
“Bae-bae lu,” pesan Irma.
Selama menaiki tangga, Nalsa digelayuti banyak tanya. Tentang tujuan Dev memanggilnya, juga tentang kata-kata dukun santet itu yang terus terngiang di kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan itu memberondong tak henti-hentinya, Nalsa mendengus kesal.
Nalsa tiba di depan pintu ruangan Dev, ia mengetuk pintunya dan masuk setelah mendengar sahutan dari dalam. Dev menunjuk salah satu kursi, dan menyuruhnya untuk duduk, disusul olehnya.
“Bagaimana penjualan kali ini?” Dev memulai percakapan, dialek bulenya masih kental, tapi sekarang ucapannya lebih fasih.
“Saya tidak tau, Mister. Tapi, dari PO tempo hari, banyak yang pesan,” jawab Nalsa. “Mister jika butuh datanya, kemungkinan nanti sore, atau besok. Tapi, kalo buru-buru, saya bisa mintakan sekarang ke tim marketing,” lanjutnya, Nalsa sedikit bingung, kenapa Dev menanyakan penjualan padanya, yang jelas-jelas bukan bagiannya.
“Tidak perlu, saya percaya itu majalah pasti meledak lagi,” ujarnya, sudut bibirnya terangkat, membentuk bulan sabit di wajahnya, sorot matanya penuh kebanggaan.
“Lalu, ada apa Mister panggil saya? Saya belum buat masalah hari ini. Beneran,” ujarnya, meyakinkan Dev dengan mengangkat dua jarinya ke atas.
“Oh, kamu mengakuinya,” sindir Dev, terkekeh. “Saya ingat kamu banyak buat masalah, tapi saya tidak tiap hari juga mau marah sama kamu. Itu … apa … jangan fitnah saya, kamu,” guraunya.
Nalsa sudah lama mengenal Dev, jadi ia tak kaget dengan caranya bergurau. Sebenarnya tak banyak yang berubah dari Dev, hanya saja rambut putihnya semakin banyak, meskipun begitu, pesona Dev masih sanggup membuat wanita terpana.
Antrian penggemar Dev semakin panjang saja setiap harinya, tapi bagi Dev semua itu hanya bayangan semu, karena Violita masih yang paling terbaik di antara semua wanita. Kesetiaannya pada mendiang istrinya patut mendapat penghargaan tertinggi.
“Dia tidak pernah pergi, dia ada bersama saya setiap waktu, mendukung saya, dan mengizinkan saya berkelana lebih lama di negeri yang kata kamu indah tapi penuh dengan siasat ini,” ucap Dev penuh kasih sayang, ketika Nalsa tak sengaja melihat dan menanyakan foto seorang wanita indah di balik sarung ponselnya, yang pasti ia bawa ke mana-mana.