Nalsa masih berada di ruangan Dev. Setelah kesepakatan sudah terjalin oleh keduanya, Dev langsung memanggil Irma untuk berdiskusi lebih lanjut tentang penelusuran Nalsa ke Gunung Marapi. Dev selalu bergerak cepat, namun kali ini atasannya itu terkesan buru-buru. Bukan tanpa alasan, Dev takut Nalsa berubah pikiran, dan membatalkan kesepakatan mereka. Menurut Dev, tidak ada jurnalis yang melebihi kecekatan Nalsa, ia tidak mau membuang kesempatan emas, kalo bisa ia malah ingin mendulang emas darinya.
“Lu udah setuju?” tembak Irma, setelah mendapat penjelasan dari Dev.
“Sudah, dia sudah setuju dengan saya, kamu tidak perlu bertanya lagi,” sambar Dev, membungkam mulut Nalsa yang terbuka ragu-ragu.
“Oke kalo gitu. Jadi, apa aja yang mau dicari kali ini?” tanya Irma, memulai diskusi.
“Saya penasaran sama itu nenek moyang orang sana, sama history-nya,” lagi-lagi Dev yang menjawab, tak sabaran.
“Sama itu deh, Mbak. Mitos-mitosnya kali, ya? Atau pantangan, biasanya kalo naik gunung gitu suka ada pantangannya, ‘kan? Nah, kita ulik dari sana, kenapa ada larangan. Hm … apa lagi ya, Mbak?” usul Nalsa, meskipun masih abu-abu.
Sembari mendengar usulan dari keduanya, Irma pun berselancar di laptopnya, membuat susunan rencana. “Menurut gua itu udah lebih dari cukup buat bahan penelusuran, lu tinggal cari narasumber yang bener-bener ngerti sejarah sana, jangan asal. Wawancara warga lokal juga boleh,” saran Irma.
Ada sebelas kode etik jurnalistik dan Undang-Undang yang harus mereka patuhi, tentu tidak mungkin mereka seenaknya dalam mencari informasi. Itulah yang menjadi faktor utama mereka selalu melakukan diskusi dan riset sebelum melakukan penelusuran, agar tidak ada pihak yang dirugikan, agar mereka tidak terlibat dengan hal-hal yang akan menghambat pekerjaan mereka. Dev sangat mengerti dengan hukum di Indonesian, dia juga sangat amat menghargai Indonesia yang merupakan negara hukum. Apalagi hal ini sejalan dengan visi Dev, yang ingin meluruskan kembali mitos-mitos yang terlanjur diasumsikan buruk di tengah-tengah masyarakat.
Dev tak mau majalahnya hanya dijejalkan informasi yang hanya didapatkan dari media sosial seseorang, ia sangat mengharamkan cara itu. Ia ingin semua informasi dimuat berdasarkan hasil penelusuran, meskipun memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, ia tidak peduli, asalkan semua bahan yang didapat jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak asal comot, apalagi tanpa izin dari yang bersangkutan. Peraturan mutlak dari Dev ini wajib diikuti semua orang yang bekerja padanya, termasuk Nalsa.
“Oke, gua nanti cari-cari aja di sana, gua riset dulu,” kata Nalsa, sibuk mencatat di buku agendanya.
“Sip deh, nanti kalo ada apa-apa, hubungi gua aja, ya?” ujarnya.
“Kamu pasti happy, saya jamin,” timpal Dev, memberi semangat.
“Semoga,” pungkas Nalsa, menghela napas panjang, meratapi keputusannya sendiri.
Nalsa dikenal sebagai wanita yang tak kenal takut, semuanya ia hantam, namun terkadang keberaniannya itu justru membuat dirinya harus berurusan dengan sesuatu yang menyulitkannya. Tak jarang, Nalsa harus berhadapan dengan pilihan-pilihan yang rumit. Seperti sekarang ini, dia tidak mungkin mundur lagi.
Selesai berunding dengan Dev dan Irma, Nalsa turun, ia harus segera menyampaikan tugas baru itu pada kedua temannya. Nalsa tiba di ruangannya, ia masuk. Ada Roy di sana, tengah menunduk membersihkan lensa kameranya. Sedangkan di sebelahnya, ada Aryan yang sedang memilah foto-foto hasil jepretannya untuk dimuat di akun media sosial ZAGADKA. Keduanya tenggelam dengan kegiatan masing-masing, sampai-sampai tidak menyadari kedatangan Nalsa.
“Guys?” panggil Nalsa.
“Hm,” jawab Aryan, tanpa menoleh, sedangkan Roy tak sibuk menjawab, masih fokus dengan kameranya.