Pukul 16.30, Nalsa masih tertahan di ruangannya. Ia meriset banyak bahan di laman berita internet. Buku agendanya penuh dengan catatan penting, dia juga membuat peta pikiran untuk memudahkannya, ada nomor-nomor penting tercatat di sana, yang ia dapat dari Irma dan beberapa kenalannya.
Serangkaian kegiatan wajib yang biasa ia lakukan sebelum melakukan penelusuran. Apa yang dilakukannya kali ini, mengingatkannya ketika sekolah dulu, ketika gurunya menugaskan pekerjaan rumah untuk membuat kliping dari surat kabar ataupun tugas merangkum berita.
Senyuman Nalsa mengembang, pikirannya berkelana lagi, ia melihat dirinya duduk di depan kelas menirukan seorang presenter berita yang disaksikannya kemarin sore. Betapa saat itu ia sangat jengkel mendapat tugas merangkum berita di televisi, malamnya ia tak bisa tidur, memikirkan cara berbicara di depan kelas agar tidak malu ketika disaksikan teman-temannya, dia bahkan berpikir untuk bolos saja hari itu.
Namun, kini setelah belasan tahun berlalu, tugas-tugas yang ia benci kala sekolah dulu, justru menjadi pekerjaannya, pelajaran-pelajaran dulu terpakai dan bermanfaat hingga saat ini. Apalagi ia bekerja di bidang yang paling ia minati, Nalsa tak hentinya bersyukur. Perjalanan hidupnya bisa dikatakan sangat mulus, begitu juga dengan percintaannya.
Alasan lain dia masih berada di ruangannya, selain untuk meriset, ia sebenarnya sedang menunggu pacarnya menjemput. Pagi tadi pacarnya mewanti-wanti padanya, untuk tidak membawa kendaraan pribadi. Dia yang akan menjemputnya, begitu rencananya. Namun, sudah hampir satu jam Nalsa menunggu, pacarnya belum juga datang, apalagi menghubunginya. Dia jelas khawatir, pacarnya itu tidak pernah mengabaikan pesan darinya, bila sedang tidak bisa diganggu pun, pacarnya akan segera memberitahunya. Tetapi kali ini, dia benar-benar tidak bisa dihubungi.
Matanya beberapa kali melirik ponsel yang ia simpan tak jauh dari jangkauannya, masih tak ada kabar dari Fargo, pacarnya. Hatinya jadi serasa diremas-remas, tak karuan. Nalsa kehilangan fokus, ia sudahi kegiatan meriset itu. Ia dorong kursi yang didudukinya, kemudian beranjak dari sana, mendekati dinding kaca, dan melongok keluar, tak ada mobil Fargo di bawah sana.
Pikiran buruk datang silih berganti, Nalsa jadi susah berdiam diri. Dia berjalan ke sana kemari, demi mengusir pikiran-pikiran durjana itu. Tenggorokannya kekeringan, dia baru sadar sudah lama tidak minum. Kopi tadi pun, belum sempat ia minum. Ia pergi ke pantri, membawa tumblernya dan mengisinya dengan air, kemudian meminumnya. Perasaan cemasnya, masih juga belum mau hilang. Ia menggeser kursi tinggi yang biasa ia gunakan ketika istirahat di sana, tapi kali ini tidak ia duduki, ia hanya menggeser saja, ia hanya butuh pelampiasan saja untuk menjauhkan kerisauan hatinya.
“Hati-hati, kamu akan mati.”
“Siapa di sana?!” Nalsa memekik, namun kemudian ia segera menutup mulutnya, ketika menyadari tidak ada orang di sekelilingnya. Lagi-lagi, suara dukun santet itu menelisik pendengarannya. Tubuhnya ia bawa mundur, waspada. Ada apa sebenarnya dengan kata-kata itu? Kenapa semakin hari, semakin mengusik pikiran ruwet Nalsa? Tak ada yang tau, atau mungkin belum.
Suasananya menjadi tidak nyaman, ia memutar tubuhnya dan berjalan kembali ke ruangannya. Ponselnya menyala terang, ia segera menyambarnya, akhirnya Fargo mengabarinya. Alih-alih membalas pesan dari kekasihnya itu, ia memilih untuk segera menyentuh ikon gagang telepon. Tangannya mengetuk-ngetuk meja, tak sabar.
“Kamu dari mana aja?” tanyanya, begitu Fargo menerima panggilan teleponnya.
“Aku pusing,” kata Fargo, lesu, tidak menjawab pertanyaan Nalsa. “Kamu turun deh, aku udah di depan,” pintanya.
“Oke, oke, aku turun sekarang,” balas Nalsa.
“Hm, ayo aku temenin,” ucap Fargo.