Rumah berpagar biru itu semakin dekat dari pandangan mereka. Rumah yang asri, penuh tanaman hias, juga pohon jambu air di halaman depannya. Fargo memelankan laju mobilnya. Pagar rumah itu terbuka, Fargo memasukkan mobilnya begitu saja.
Kedua orangtuanya yang menyadari kedatangan mobil anaknya ini, berhamburan keluar, menyambut mereka di depan rumah. Fargo dan Nalsa pun turun. Wajah berseri-seri dari orangtua Fargo, menghangatkan hati Fargo maupun Nalsa. Untuk sementara, Fargo bisa melepaskan penat dan kegelisahannya.
“Halo, Ma, Yah, apa kabar? Sehat?” Nalsa menyalami mereka, disambut dengan kebahagiaan yang membuncah.
“Nak, Nalsa, kami sehat,” jawab Sri Agung, ibunda Fargo, seraya memeluk Nalsa dan mencium kedua pipi kekasih anak keduanya ini. “Kamu dari kantor langsung ke sini?” tanyanya, kemudian.
“Iya, Ma,” jawabnya, tersenyum.
“Ih, pasti si Fargo yang paksa ya, Nak?” Ibunya melirik Fargo, sinis.
“Enggak kok, Ma, aku juga mau ikut,” jawab Nalsa.
“Tuh ‘kan, kamu ya, pacarmu pasti capek ini, malah direpotin, kayak enggak ada besok aja,” omel ibunya pada Fargo, yang hanya dibalas kekehan.
“Aku kangen, Ma, enggak bisa ditunda lagi,” jawab Fargo, mengundang semburat merah di kedua pipi Nalsa, malu digoda Fargo di depan calon mertuanya.
“Enggak repot kok, Ma, kebetulan aku juga kangen sama Mama, sama Ayah,” jawab Nalsa, ia tidak berbohong. Orangtua kekasihnya, sudah ia anggap orangtua sendiri, lagi pula ia sebenarnya lebih senang pulang ke rumah Fargo, daripada rumahnya sendiri. Rumahnya selalu sepi, di sini ia punya teman.
“Tuh Ma, jangan nyalahin Fargo,” elaknya.
“Alah, pasti kamu paksa, ‘kan?” sergah ibunya.
“Enggak kok, enggak salah maksudku,” balas Fargo, cengengesan.
“Heh!” ibunya memukul punggungnya, pelan, Fargo hanya menyengir, tak merasa bersalah.
“Sudah,” Gunandha, ayah Fargo, menengahi keributan ibu dan anak itu. “Mari masuk, Nak Nalsa, ada makanan kesukaan kamu di dalam,” ajak ayahnya.
“Oh, betul.” Ibu Fargo tersadar, mereka masih berada di luar rumah, ia merangkul Nalsa, dan menggiringnya untuk masuk. “Ayo, Nak.”
“Terima kasih, Ma, Yah, padahal enggak perlu repot-repot loh,” ujar Nalsa.
Mereka masuk, Nalsa dibawa ke ruang keluarga. Dia bukan lagi tamu di rumah itu. Nalsa juga sudah melewati masa-masa canggung. Seiring berjalannya waktu, dan hubungannya dengan pacarnya makin lengket, Nalsa tak lagi merasa orang asing di keluarga hangat ini. Rumah ini malah lebih sering didatangi, ketimbang rumahnya sendiri.
Nalsa langsung dibawa ke ruang keluarga. Satu ruangan besar, terletak di tengah, di sini biasanya semua kegiatan dilakukan, dari mulai makan, nonton televisi, ngobrol, berdiskusi, dan keusilan-keusilan penghuninya. Menguar harum makanan, yang segera menyergap mereka, dan mengunci aromanya sampai ke hidung.
Sofa besar berwarna coklat tua, dan meja panjang dari kayu jati, melingkar, siap memeluk mereka dengan kudapan di atasnya. Berbagai makanan tersedia, dari pisang goreng kesukaan Fargo, risoles, kue, dan makanan favorit Nalsa, lapis legit buatan Ibu Fargo. Mata Nalsa berbinar, ia tak sabar mencicipi lapis legit itu, ia sudah lama tidak memakannya. Nalsa selalu berseloroh, jika rumah Fargo, serasa surga dunia untuknya. Kehangatan di rumah kekasihnya itu selalu ia nantikan, dan rindukan.
“Kak Nalsa!” teriak Dahayu, menuruni tangga dengan buku pelajaran di tangannya.
Nalsa menoleh, melempar senyuman pada adik kekasihnya. “Hai, Dek? Lagi belajar?” katanya.
“Iya, Kak.” Wajahnya yang semula ceria melihat Nalsa datang, seketika berubah sendu, mulutnya tertekuk kembali. “Pusing aku ini,” keluhnya, namun tiba-tiba ia semangat lagi dan bertanya, “Kak Nalsa, mau nginep di sini?”
“Belum tau, liat nanti aja,” jawabnya.
Nalsa memang sering menginap di rumah Fargo, ada ataupun tidak ada Fargo, bila ia ingin, ia akan menginap di rumah hangat itu. Ketika kerjaannya sedang banyak, ataupun sedang tidak bisa pulang ke rumahnya, Nalsa memilih untuk pulang ke rumah Fargo, selain itu rumah Fargo jaraknya tidak terlalu jauh dari kantornya.
“Biarin kakaknya duduk dulu, Adek,” tegur ibunya.
“Ih, Kak Nalsanya juga enggak keberatan kok, Ma,” protes Dahayu.
“Kakaknya baru dateng, masih cape. Bawain minum sana,” katanya lagi.
“Iya. Nih Kak, titip.” Dahayu melemparkan buku pelajaran yang masih di tangannya itu pada Fargo.
“Apaan sih,” heran Fargo.