ZAGADKA: Di Ujung Pintu Rimba Gunung Marapi 2.891 mdpl

Yutanis
Chapter #6

Kehilangan

Ketegangan masih menguar di ruang keluarga Fargo. Wajah Fargo sudah merah padam. Nalsa sungguh tak pernah menyangka obrolan hangat yang sudah berlangsung sepanjang waktu di rumah Fargo, akan berubah mencekam seperti ini.

Fargo berdiri, lalu dengan sekali tarik, Fargo membawa Nalsa ke kamarnya. Persidangan yang sesungguhnya akan segera dimulai.

Nalsa memang selalu meminta izin padanya, selain pada kedua orangtuanya.

Ia mengira semuanya akan berjalan seperti biasanya, tapi entah kenapa hari ini Fargo terlalu keras padanya. Penelusuran ke mana pun, Fargo selalu memberi izin, tapi sepertinya Nalsa melupakan yang satu itu. Sampai kapan pun, gunung adalah tempat yang harus dihindari oleh siapa pun yang dekat dengan Fargo.

Mereka tiba di kamar Fargo. Fargo memegang kedua pundak Nalsa, mensejajarkan dengannya. “Liat aku, Sayang.” Netra mereka bertemu, kilat emosi dari keduanya saling menyambar, seperti petir yang saling bertabrakan. Kuat sekali. Fargo dan Nalsa sama-sama keras kepala. “Kamu beneran mau penelusuran? Ke gunung, Nalsa? Gunung?” suaranya menekan dan menuntut.

“Beneran.” Wajahnya tak kalah serius, ia angkat ponselnya tepat ke depan wajah Fargo. “Ini liat, aku udah bikin jadwal, riset, udah hubungin narasumber, udah booking tempat, udah turun juga uang buat penelusuran. Semuanya udah siap, Fargo,” jelasnya, jengkel, merasa terkekang.

“Kamu yakin? Kenapa? Dev paksa kamu? Biar aku yang batalin, sini nomornya,” desaknya.

“Apaan sih, Fargo?!” nada bicaranya mulai meninggi, tegas dan penuh amarah.

“Ini gunung loh, Nalsa! Gunung Marapi!” tekannya sekali lagi.

“Aku tau! Tapi ini kerjaan aku, Dev mau aku ke sana. Kamu juga tau sendiri kerja kayak gini enggak bisa pilih-pilih, enggak bisa nolak,” Nalsa melawan, sengit.

“Bisa, Nalsa! Kamu bisa nolak, kamu bisa pilih penelusuran ke tempat lain, bukan ke gunung!” tegasnya.

“Mana bisa sih!” Dahinya mengkerut dalam, matanya menatap tajam. “Dia bakalan sindir aku setiap hari, bakal ungkit-ungkit terus,” sergahnya.

“Lu kok jadi peduliin yang kayak gitu sih, Nalsa?” emosinya sudah di puncak, kepalanya sudah mengeluarkan asap. “Kalo ada apa-apa sama lu, mereka masih bisa rekrut orang baru, lu masih ada gantinya. Banyak! Mereka juga bakalan lupa sama kerja keras lu. Mereka enggak butuh lu, mereka cuman butuh uang yang lu hasilin,” paparnya, menusuk.

Nalsa semakin meradang, dia merasa direndahkan seperti itu, ia tidak terima. “Gua bukan enggak peduliin itu, Fargo! Gua juga ngerti resiko yang bakal gua terima sepanjang gua kerja kayak gini. Tapi, lu enggak perlu seenaknya juga ngomong kayak gitu. Gua pacar lu! Enteng banget lu rendahin gua.” Fargo tertegun, ia sadar sudah mengucapkan kata-kata yang kurang ajar. “Kerja di sana ribetnya beda sama kerjaan lu. Lu enggak akan ngerti gimana kerja kayak gini, lu mana tau!” Nalsa menggeram, ia marah, juga kecewa.

“Aku enggak ngerti gimana sih, Sayang,” Fargo melembut, menyesal telah menyakiti hati kekasihnya. “Aku selalu ngertiin kamu, tapi yang ini, enggak bisa Nalsa, itu gunung lagi aktif-aktifnya,” katanya.

“Gimana pun lu larang gua, gua tetep bakalan pergi,” tegasnya.

“Argh!” Tangan Fargo terlepas dari pundak Nalsa, ia mengusap wajahnya dengan kasar, juga mengacak rambutnya melampiaskan kekesalannya. “Lu bikin gila, Nalsa,” ucapnya. “Gua khawatir, Nalsa, gua larang lu karena gua sayang. Gua enggak mau kehilangan lagi, Nalsa. Lu paham dong.” Fargo membuang muka, ke mana saja, asal tidak bertemu pandang dengan kekasihnya, air matanya sudah menggunung, sudah siap untuk terjun, tapi ia tahan sekuat tenaga, dan malah menyakitinya, dadanya terasa sesak.

Di samping itu, Nalsa juga merasa kalap, tapi keinginannya untuk menaklukkan Gunung Marapi tiba-tiba saja memberi dia kekuatan. Dia semakin yakin dengan keputusannya, dan dia tidak akan mundur begitu saja.

“Fargo, gua tetep pergi penelusuran, terserah lu mau marah atau apa kek,” tegasnya, semakin membuat Fargo frustrasi.

Emosi keduanya sudah sama-sama tinggi, tidak ada yang mau mengalah. Nalsa melangkah menuju pintu, ia harus keluar. Jika terlalu lama ada di sana, entah apa yang nanti akan terjadi, mungkin kata putus akan keluar begitu saja, ia tak mau.

Baru berjalan dua langkah, tangannya dicekal dan ditahan. “Mau ke mana?” tanya Fargo, suaranya bergetar.

“Pulang,” jawab Nalsa. “Lepas,” titahnya.

“Makan dulu, gua anter lu pulang,” ucap Fargo.

Lihat selengkapnya