Zaidun Wa Hindun

Aviskha izzatun Noilufar
Chapter #8

#7 Tanda-Tanda I'rab pada Isim

Zaidun

Tanda-tanda I'rab pada Isim

Rafa, Nashab, Khafadh, tidak menerima Jazem

Melihat Sapu yang tegak ketika sapu itu berdiri di pegang sang tuan yang akan membersihkan segala apa yang kotor. Hari Kamis awali dengan senyuman manis dengan membersihkan lantai atas ponpes dengan atap-atap yang dihiasi dengan pakaian cucian. Aku menyukai membersihkan lantai ini yang mana berada di atas dan bisa memandang keindahan lantai bawah. Terlihat hijau pepohonan dan Taman ponpes Al-Istiqomah.

Pagi ini aku telah menyiapkan pelajaran. Aku sudah terbiasa men jadwal pelajaran setelah pulang sekolah, itulah kebiasaanku sejak kecil telah di latih ibuku dari kecil saat dirumah. Kini waktunya aku mengamalkannya walaupun ibuku tidak disisiku saat di pesantren. Tiba-tiba terdengar suara panggilan dari kantor yang menyebut namaku dengan bunyi kang Zaid di sambang. Aku langsung menuju ke kantor untuk menemui ayah atau ibu yang kesini.

Ada apa gerangan ibuk kesini. Kubuka pintu kantor melihat ibu yang sedang menangis entah apa yang terjadi. Ibu membutuhkan aku, aku tidak boleh membiarkan ibuku menangis. Setelah membuat ibuku tenang, ibuku mengajakku pulang untuk Minggu ini. Ibuku memamitkan ku pulang ke rumah dan di di izinin 3 hari saja. Ibuku seorang perempuan yang hebat, pemberani, tanpa seorang laki-laki di sampingnya. Kekutan jiwa ibuku menular pada jiwaku walaupun aku seorang laki-laki. Kelak semoga calon istriku seperti ibuku yang kuat.

Setelah keluar dari perbatasan kota Jepara dan Kudus, aku baru ingat kalau Hindun rumahnya Kudus. Kok aku malah mikirin dia, kenapa dia selalu ada pada bayang-bayangku dia terlalu manis untukku. Aku ingin mengenalnya lebih jauh tanpa dia mengetahuinya.

"Nang, piye ngajine?"

"Alhamdulillah buk lancar" 

"Ya alhamdulillah, ampon koyok ibuk ya seng dek kae ogak pernah mondok. Tapi due cita-cita mondok Mbah e ogak duwe ragat gawe mondokke ibuk Nang, terus Iki ibuk wes keturutan saged mondokke kenangku seng bagus Iki"

Aku hanya seorang laki-laki biasa tapi aku punya ibu yang luar biasa. Dialah penyemangatku saat aku kehilangan arah. 

Sudah satu Minggu aku berada di rumah untuk menemani ibuku yang sedang menghadapi masalah yang begitu berat. Rencana pagi ini aku pergi ke konter untuk membeli pulsa dan menelfon nomer pondok dan izin lagi untuk masih dirumah. Sepanjang hari ibu harus menghadapi segala kenyataan dan aku gak berani bertanya kapan aku akan kembali ke Jepara. Ku ketuk pintu kamar ibuk tidak ada jawaban, ke dapur tidak ada, lantas dimana ibuk berada?. Aku keluar rumah dan ternyata ibu sedang memanen Sayur-mayur yang di tanam ibuk. Semua sayuran kayaknya lengkap dari Cabe, Onclang, terong, timun, dll. Itu semua hasil tanaman ibuk. Dan kesayangan ibuk adalah Hidroponik yang selalu di perhatikan. Adapun Hidroponik adalah suatu budidaya menanam dengan mamakai (memanfaatkan) air tanpa memakai tanah dan menekankan penumbuhan kebutuhan nutrisi untuk tanaman. Kebutuhan air pada tanaman hidroponik lebih sedikit dibandingkan kebutuhan air pada budidaya dengan memakai media tanah. Hidroponik memakai air yang lebih efisien, jadi sangat cocok diterapkan pada daerah yang mempunyai pasokan air yang terbatas. Keseharian ibu memnatau Hidroponik yang indah akan warna hijau dan Pralon warna putih.

"Piye Nang, tandurane ibuk subur Ra. Gak usah kunyo pasar lan gak usah ngetokke arto, pokok e tinggal metik Nok kebun iki".

" Njeh buk, ibuk mandiri sekali. Aku iri kale jenengan buk"

"Riye Tah Nang Karo simbok e kok iri, ngoten Niku jenenge otak iri. Lah wong ibuk kui simbokmu ya awakmu kudune neruske perjuangan ibuk".

"Hehe iya buk, buk Kulo sampon ansal Bali Ten pondok?" 

Dengan menundukkan kepala dan nada kesedihan akan meninggalkan ibuk kepenjara suci rasanya tak tega melihat ibuk sendirian berjuang.

"Iya Nang, besok wes oleh Bali. Ibuk gak usah mbek khawatirke ya. lan sedurunge Bali Reng pondok awakmu Reng Jogja pek Ten ndalem Simbah ibuk nitep surat kale simbahmu wong simbahmu gak ngerti hp lan terus bariku mamper Ten ndalem pakde Jeporo, kudune nginep 2 hari. Iki alamate, mengko seng sopan pas Sowan mriko. Ibuk nitep salam lan oleh-oleh damel pak demu lan budemu.

Sebelum aku kembali kepesantren saya istiqomahkan untuk ziarah ke makam Mbah Wali Sunan Ja'far Shadiq. Aku sudah terbiasa jika keluar rumah izin bersama ibuk, Alhamdulillah ibuk mengizinkanku untuk pergi. 

Tahlil yang berkecamuk di mulutku adalah suatu wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mengangkat tangan dengan ucapan doa-doa akan adanya harapan, memintanya kepada sang maha pencipta, aku hanya bisa meminta kepada Allah. Setelah Tahlil dan do'a tak lupa aku membuka kitab Alfiyahku untuk menambah hafalanku semoga mendapat barokahnya Mbah wali akan hafalanku.

Keluar dari makam aku berfikir punya rencana, tapi aku lupa. Aku berhenti di teras masjid menara duduk dan berfikir rencanaku setelah Ziarah. Melihat ada seorang mahasiswi membawa buku yang hendak ke makam aku baru ingat kalau aku mau beli buku di Toko kitab MT (Mubarokah Thoyyibah). Beraneka macam kitab, buku bacaan ilmu pengetahuan, dan fiksi seperti Novel dan komik. Aku memiliki satu tujuan buku yaitu karangan Puisi dari Jalaludin Rumi.

Ada banyak buku karangan Jalaludin Rumi, kalau ada banyak pasti bingung mau pilih yang mana. Mungkin pak kasir tau aku sedang pusing milih buku karena dari tadi aku mondar-mandir ambil buku. Aku tertuju pada puisi samudra rubaiyat dan buku Fihi Ma Fihi. Pada akhirnya aku ambil buku Fihi Ma Fihi. Saat aku mulai mengambil buku ini tiba-tiba ada yang mengambilnya dan tangan kita tersentuh.

"Astaghfirullah"

Karena terkagetkan bahwa itu tangan seorang perempuan berwajah putih dan manis senyumannya.

" Maaf kak, kakak mau ambil buku ini?"

"Em, Iya. Ini ambillah, ini"

Lihat selengkapnya