Zaidun Wa Hindun

Aviskha izzatun Noilufar
Chapter #15

#15 Tanda I'rab Nasab Ketiga Yaitu Kasrah

Zaidun

Senja menyambut, dengan sinar yang menyatukan antara cahaya cerah dan gelap. Keindahan senja telah menyambut kami di Pesantren kami tercinta. Semua menyambut kedatangan kami dengan membawa kemenangan. Suara terbang dari grup rebana pesantren, kami di tunggu Abah Yai di Musholla bersama para santri. Mereka menyambut kami seperti kedatangan para ulama' yang di hormati. Aku mimpi apa, seakan ini adalah sebuah mimpi yang tidak akan terjadi.

Abah Yai memberi sambutan dan kami bertiga menceritakan pengalaman lomba kami kepada semua santri Al-Istiqomah. Gus Ziyad memberi motivasi kepada semua santri agar giat belajar dan tidak bermalas-malasan lagi. Akhirnya semua sudah selesai, kenaikan kelas akan menjadi penentu seberapa usaha dalam belajar.

Diakhir tahun ini aku berniat mengkhatamkan Alfiyahku, kurang 200 bait saja. Harus di kebut dengan perasaan cinta. Prinsip satu bulan 100 bait, itulah target yang telah menghantui segalanya. Apalagi kitab kecilku yang selalu kubuat hafalan telah hilang entah kemana perginya. Apakah ketinggalan di Hotel solo. Atau jatuh karena tas gendong yang ku bawa tiba-tiba terbuka. Memaksakan untuk mengikhlaskan rasa cinta itu sulit apalagi yang sudah melekat pada diri. Aku harus mengawalinya dengan pembaharuan. Membeli kitab mungil dengan kertas kuning yang berisikan bait-bait.

Dua bulan kulewati usai selesai khatam Alfiyahku aku meminta Do'a pada Abah Yai dan diberi sanad keilmuan sampai Pengarang Kitab Alfiyah Ibnu Malik. Abah Yai selalu meseport aku dalam segala hal yang aku ingin meraihnya. Gus Ziyad yang selalu bercerita tentang aku di hadapan Abahnya. Kami berdua seperti kakak beradik. 

Tibalah hari terakhir, aku telah selesai mengkhatamkan. Aku di panggil Abah Yai, segeralah aku menuju ke ndalem. Di ruang tamu sudah tersedia nasi kuning, bubur, dan lain-lain. Seperti yang aku lihat saat ini sudah ada Abah Yai, Ustadz Syam, Mbak Ikha, Mbak Hindun, Gus Ziyad, dan Neng Izza. Gus Ziyad mempersilahkan duduk disampingnya, sebelum aku menuju samping Gusku aku Salim ke Abah Yai terdahulu. Bu nyai datang dengan Mbak ndalem yang membawa sebuah dekem. Aku bingung sekali ada apa ini, Mbak Hindun sebagai MC. 

Terkagetkan akan acara selametan atas kemenangan lomba yang kemarin dan khataman Alfiyahku yang direncanakan Bunyai dan Gus Ziyad. Aku bukan siapa-siapa dari mereka, aku layaknya santri yang masih banyak belajar. Aku dan Gus Ziyad selisih satu Minggu khatam, sekarang aku dapat hadiah Do'a dari Abah Yai. Andaikan seorang ayah disampingku seperti Abah Yai, mungkin semangatku tambah. Makan-makan telah usai, perbincangan antara aku dan Gus Ziyad di putus oleh Mbak Hindun.

"Kang, kang Zaid."

Suara Mbak Hindun yang tiba-tiba.

"Iya Mbak, pripon?"

Rasanya agak gimana ya, seorang perempuan menyusulku dan memutus perbincangan.

"Selamat atas khatamnya Alfiyahnya."

Begitu baiknya dia, merelakan dia malu didepanku dan Gus Ziyad. 

"Iya Mbak, Terimakasih. Semoga cepat menyusul khatam."

"Insyaallah Kang, pandonganipun ajaran Baru."

"Amin."

Aku dan Gus Ziyad serentak.

Mbak Ikha dan Ustadz Syam sedang berbincang dengan Abah di ruang Tengah. Tinggal kami bertiga yang berada di ruang Tamu. Mbak Hindun diam terus tidak berbicara apa-apa, kasihan dia tidak ada teman ngobrol. 

"Mbak Hindun sini lho gabung ngobrol sama kita, mboten nusah sungkan."

Gus Ziyad selalu kasih sayangnya pada semua orang, seeprti Abah Yai. Mungkin Mbak Hindun malu gabung kita berdua. Dia hanya tersenyum di meja sebrang.

"Sini Mbak gabung, gak papa kok. Kita ngobrol ajha."

Akhirnya dia menyusul kita, dia hanya merundukkan kepala. Kita bertiga berbincang permasalahan di pondok. Ketika di tengah-tengah Gus Ziyad pergi sebentar, dan tinggal kami berdua. Kami saling diam bingung mau mengawali pembicaraan apa. Akhirnya aku nunggu Gus Ziyad, sambil membuka kitab-kitab yang berada di meja depanku. Sedangkan Mbak Ikha masih merundukan diri dengan membulet-bulet kerudungnya. Maafkan aku yang canggung, sehingga kamu terdiam seperti itu. 

"Lho kok meneng, age Ra di lanjut."

Dia datang tiba-tiba mengagetkanku.

"Lha saya gak ngomong apa-apa ya Mbak Hindun." Ku jawablah yang sebenarnya

"Njeh." 

Dia tersenyum.

"Ini saya pesankan Gelang Kaukah kembar, dari Arab. Aku pesen dari Mbakku, ini untuk kita bertiga. Aku ingin kita bertiga menjadi Sahabat selamanya." Gus Ziyad bilang tersebut seperti menghayati makna arti sahabat.

"Masyaallah Gus, enggak nyangka Gusku punya fikiran yang luar biasa." 

Lihat selengkapnya