Zaidun
Isim
Gus Ziyad adalah sahabatku putra abah yai ku sendiri, pernah ada yang bilang bahwa kita berdua adalah anak kembar karena nama Ziyad dan Zaid. Padahal hanya inisial satu huruf saja yang berbeda, diriku ini hanyalah santri biasa yang selalu ngikutin gusnya kemana-mana sehingga gus Ziyad tak mau berpisah denganku. Sampai-sampai setiap hari Rabu aku harus tidur bersama beliau, karena itulah teman-teman santri mungkin ada yang iri denganku. Kenapa harus hari rabu, karena di tempat tidur gus Ziyad adalah tempat ternyaman untuk musyawarah kitab.
Di saat Gus Ziyad mengajakku pergi ke Kudus, tiba-tiba gus Ziyad menyuruhku berhenti dan bilang kepadaku.
"Id kamu lihat motor yang berjalan itu menuju kemari?", Dengan menunjukkan jari ke arah sepeda motor pondok putri menuju parkiran yang kita tempati.
" Kamu tau tidak itu siapa?"
"Itukan mbak Ikha, bu ketua pondok putri Al-Istiqomah"
"Owalah, kok kamu tau Id, padahal kamu itu orangnya tertutup masa kenal cewek hahaha"
"Nopo si Gus, kulo fokus riyen kaleh tholabul ilmi riyen" omonganku kayak terlalu tinggi di depan gus Ziyad. Aku takut kalau dia mengunggahi perkataanku.
"Bahasamu kui lho, seng jarang tak reteni wong lanang liyo" Sungguh ini unggahan apa pujian bagiku.
"Pandongone mawon Gus, nek sampon lulus ansal ingkang sae"
"Ya mesti tak dongakke sae-sae kagem awakmu"
"Suwun Gus"
Setelah Gus Ziyad berhenti bicara dia menggandengku secara cepat dan menghentikan langkah mbak Ikha ketua pondok Putri. Dia bersama seorang yang jarang ku lihat di pondok putri. Mungkin dia tak pernah keluar pondok, dan baru sekarang di ajak keluar sama bu ketua.
Gus Ziyad tidak di terjunkan abahnya belajar di pesantren lain, abah yai cukup mengajarinya mengaji, membaca kitab, dan mengahafal Al-Qur'an di Pesantren Abahnya sendiri. Karena abah yai ingin mencoba mendidik putranya sendiri. sedangkan kakaknya Gus Ziyad, Neng Azza sedang melalui proses tholabul ilmi di mesir.
Kita berdua satu kelas di kelas 2 Madrasah Aliyah Banin Al-Istiqomah, kebersamaan kita memang kayak anak kembar. Dulunya saat pertama disini awalnya aku tidak menyangka kalau Gus Ziyad itu putra dari Abah yai. Dia tidak pernah bilang kalau dia putra abah yai saat pertama kenalan denganku, pada hari ke tiga di pesantren aku melihat Gus Ziyad berada di ndalem abah. Dan ku pertanyakan kenapa Kamu ada di ndalem abah?, lalu dia baru mengakui kalau dia putra abah yai. Gus Ziyad ini sifatnya sepertiku suka bercanda tapi lebih polosan aku, dia lebih suka membuat pantun kalau aku lebih suka membuat puisi.
Aku layaknya santri yang dekat dengan Gusnya sering ke ndalem abah yai untuk menemani gusku, sampai-sampai adiknya Gus Ziyad nemplek denganku. Seperti kakaknya ajha sering nemplek. Neng Izzah ini baru lima tahun, pada umur 3 tahun katanya sudah di ajarin ngaji dan sholawat Bu nyai. Setelah neng Izzah tahu kalau aku temen kakaknya aku disuruh ngajarin ngaji yanbu' di ndalem abah yai, karena bu nyai sudah memegang mbak-mbak santri yang setor hafalan.
Neng Izzah pernah bilang di depan abah dan umminya dengan keadaan kesal.
"Ummi aku mau ngaji" saat itu Ibu nyai akan mengisi jadwal kegiatan mbak pondok.
" Dek Izzah ngaji sama kakak ajha ya?"
"Aku gak mau aku maunya sama ummi".
"Kakak kalau ngajar gak bisa halus, bercanda terus kok mi".
" Kalau sama temennya kakak mau tidak?"
"Kang Zaid itu kan mi?"
" Iya sayangku, nanti Ummi suruh ngajarin kamu sampai pandai".
Sore harinya aku terbiasa pergi ke makam pendiri pesantren Al-Istiqomah yaitu simbah Ibrahim khalili dekat persawahan milik penduduk dengan kehijauan yang asli tanpa filter. Ku buka lembaran Kertas kuning, dan ku awali dengan membaca Al-Fatihah untuk pengarang kitab, dan melanjutkan menghafal berulang-ulang sampai mengantuk.