Pembagian kelas belum diberikan kepada siswa-siswi baru, karena itu ditentukan tepat setelah beberapa tes.
Tes yang akan menjadikan seseorang untuk masuk kelas tertentu, sesuai dengan keahlian mereka sendiri.
Siswa-siswi baru dengan total 420 itu berkumpul di satu ruangan yang besar, tepat di depan mereka ada beberapa orang yang memegang dokumen di tangan mereka.
Para petugas itu adalah mereka yang akan melakukan tes terhadap siswa-siswi baru, memanggil nama mereka satu persatu untuk menuju ruangan pengujian.
Total ada 10 orang yang memanggil nama mereka satu persatu, setiap nama telah terpanggil dengan rentan waktu yang cukup cepat.
“Mois!”
“Gilbert!”
“Persena!”
“Tyara!”
“Deva!”
“Trista!”
“Fritzi!”
“Arkavi!”
“Krena!”
“Busto!”
Semua nama itu dipanggil satu persatu, karena berada dalam panggilannya. Fritzi harus segera pergi, “Itu panggilanku!”, “ Semoga beruntung!” balas Riyan sambil mengangguk.
Melihat temannya yang telah menghilang untuk memenuhi panggilan itu, kini Riyan sendirian di sana, menunggu namanya dipanggil.
Di sekitarnya hanya tersisa setengah dari jumlah total.
….
Ketika memasuki ruangan ia bisa melihat seorang pria paruh baya sedang duduk melihat catatannya, di atas meja kecil itu ada kertas yang menjadi pusat perhatiannya.
“Kau orang selanjutnya!”
Karena tidak tahu harus berbuat apa, Riyan berjalan pelan ke arah pria itu, dan diam tak jauh darinya.
“Yang ini cukup mengejutkan, siapa sangka ada orang yang masuk ke akademi ini lewat surat rekomendasi!”
Pria itu berdiri dari duduknya, tubuh besar itu bukan kaleng-kaleng. Otot-otot yang terbentuk dengan sempurna, dengan bentuk yang melebihi manusia biasa.
“Ow… ”
“Jadi, apa yang membuatmu bisa mendapatkan surat rekomendasi itu? Apalagi itu dari seorang Jenderal!”
Atmosfir menjadi semakin berat bagi Riyan, tekanan batin itu mencoba untuk mengintimidasinya.
“Itu gampang! Kenapa tidak tanya orangnya!”
Balasan Riyan membuat pria itu melongo sebentar, memejamkan matanya selama beberapa saat.
“Haaah—itu benar juga!”
Seakan gagal untuk mengintimidasinya, pria itu kembali duduk sambil menghela nafasnya.
“Jadi apa selanjutnya?”
“Kau tinggal lewati pintu itu saja!”
“O-oke!”
Ditunjuknya sebuah pintu yang berada di sampingnya, kemudian pria itu melihat ke arah dokumennya lagi.
“Tunggu dulu nak!”
Baru saja Riyan memegang gagang pintu itu, “Aku tidak tahu alasan apa yang membuatmu mendapatkan surat ini, tapi—lupakan saja!”, Riyan menatap balas ke arah pria itu sebagai balasannya, lalu pergi melewati ruangan itu.
Memasuki ruangan lain yang sangat besar, di sana terdapat siswa-siswi lain yang seakan sedang menunggu.
“Kau bercanda kan?”
Suara seseorang yang terdengar tak begitu asing bagi Riyan, begitu melihat ke arah asalnya, ia bisa menemukan sosok dibalik suara itu.