Zeeya and Her Diary Book

Zal zal
Chapter #3

Bab 3 | Kegalauan Zeeya

Dear, diary...

Kepergian orang yang berarti membuatku hilang semangat. Kairo adalah orang yang sangat berarti bagiku. Dia selalu ada di sampingku ketka aku membutuhkannya. Aku sangat kecewa padanya.

Kenapa dia ingin meninggalkanku? Apa aku pernah berbuat salah padanya? Seribu pertanyaan terlintas di benakku. Aku tidak mengerti alasannya untuk meninggalkanku.

Aku menceritakannya pada Reega. Untungnya dia selalu menyiapkan bahu untuk tangisanku dan telinga untuk mendengarkan curhatanku. Reega, aku minta maaf karena telah merepotkanmu dalam beberapa hari ini.

-Adila Zeeya Vierhalt-

...

“Zee, are you okay?” tanya Reega menghawatirkanku.

Aku tidak menjawab, tanganku sibuk membolak-balik halaman buku yang kupegang. Aku duduk meringkuk di sisi pojok perpustakaan bersandar di dinding dan beralaskan lantai yang dingin.

“Zee! Come on, girl. Sejak kapan kamu galau sampai nangis gini gara-gara satu cowok. Mungkin Kairo ada keperluan ke luar kota. Dia pasti bakalan balik, kok” kata Reega meyakinkanku.

“tapi Kairo... hiks, sudah seminggu aku nge-chat dia, nggak dibalas... Nomorku diblok sama dia, akun sosmednya dihapus. Aku harus gimana Ree?” tak sadar, air mataku jatuh perlahan.

Aku menangis sambil memeluk kedua lututku. Reega merasa kasihan padaku, adik kembarnya yang baru pertama kali putus cinta. Dia mengusap rambutku dengan lembut. Tangannya terasa sangat dingin. Reega juga merasa kehilangan sahabatnya sejak kecil itu.

“Zeeya!!!”

Suara teriakan dari balik pintu mengagetkanku dan Reega. Aku buru-buru menghapus air mata dan merapikan seragamku yang terlanjur basah.

“Zeeya, gue cariin lo dari tadi, tau. Ternyata lo di sini.” Kata cewek itu lantas menghampiri ku.

Oh, ternyata Hana. Aku pikir siapa tadi.

“aku keluar dulu ya, Zee. Take your time...” pamit Reega.

“lo habis ngapain di sini, Zee?” tanya Hana padaku.

“ah, aku habis bimbingan olimpiade tadi.” Jawabku berbohong.

Untungnya Hana tidak curiga kalau aku habis menangis. Aku tidak ingin teman-temanku mengetahui kalu aku sebenarnya sangat cengeng. Hanya Reega lah yang boleh melihatku menangis.

“aku kan nggak minta dijemput, Na” aku berdiri, menghampiri rak buku di sebelahku dan meletakkan buku yang dari tadi kupegang.

“emang lo nggak laper? Udah jam makan siang, Nisa lagi nungguin tuh di kantin.”

“kalo gitu ayo! Aku juga udah laper, nih”

Aku mengiyakan ajakan Hana. Sejujurnya aku sedang tidak nafsu makan. Tapi aku tidak enak kalau harus menolak ajaknya.

“guys! Disini...” Nisa yang duduk di bangku kantin melambaikan tangannya kearah kami.

Lihat selengkapnya