"Aku harus berdamai dengan masa lalu, sebab dari sanalah aku belajar mengenai bagaimana caranya menguatkan hati yang telah hancur." ~Zenia Jannat ~
Bismillahirrahmanirrahim.
.
.
.
Mentari pagi mengusik ketenangan seorang perempuan berparas cantik. Pemilik bulu mata lentik dengan alis tebal, hidung mancung juga bibir seksi kemerahan, sungguh mahakarya luar biasa yang terlahir dari pasangan anak manusia.
Ia menggeliat perlahan dengan merentangkan kedua tangannya. Sesaat kemudian terdengar suara ketukan pintu dari luar. Kedua bola mata yang tadinya masih terpejam, seketika terbuka lebar. Mengusap wajahnya pelan sebelum ia memutuskan untuk bangun dari tidurnya.
"Iya bentar," teriaknya setelah mendengar ketukan pintu sekali lagi. Segera ia turun dari ranjang dan bergegas membukakan pintu kamar.
Seorang lelaki tersenyum manis di depannya. Hal itu membuat wanita cantik dengan rambut berantakan mendengus pelan. “Mas Adnan,” panggilnya malas. “Dah selesai ngajak begadang sekarang apalagi?” keluhnya kemudian.
Terkekeh kecil Adnan mendengar gerutuan adik kesayangan. “Nggak tahu jika sekarang udah siang. Mbakmu sama ibu mau sambang tetangga baru depan rumah. Kamu nggak mau ikut?”
Menggeleng lemas Zenia. Sesuatu hal yang lain telah mengusik keadaan diri tanpa diduga. Perempuan itu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Tak berselang lama embusan napas pelan terbuang sembari melebarkan senyum.
“Hmmm ... harum sekali, ibu masak apa, Mas?” Bukannya menjawab pertanyaan dari kakaknya, perempuan itu berbalik tanya.
Adnan tersenyum tipis sambil menggeleng. Sesaat ia berbalik dan bergegas pergi. Namun, sebelumnya ia lebih dulu berujar, “Mandi dulu sana! Ibu masak cumi bumbu hitam. Kesukaanmu."
“Mantap.” Suaranya terdengar renyah sebelum suara yang lain terdengar saat pintu tertutup.
Di dapur.
“Nadia masih nggak habis pikir dengannya, bagaimana bisa dia merelakan karir yang baru saja dibangun hanya karena sakit hati?”
“Ibu sudah sering bilang sama Zen, cari kerjaan di tempat lain saja yang sesuai dengan pendidikannya daripada dia sekolah lagi. Bilangnya, 'kebetulan jadi guru TK yang menolongnya dari status pengangguran.' Jadi Ibu bisa apa, Nad."
Menghela napas sejenak dengan hati yang kembali merasa sakit. Ibu dan Nadia sambil mondar-mandir menata menu makanan dan alat makan di atas meja makan.
"Ibu juga tahu, bagaimana saat itu dia sangat terpuruk setelah ditinggal menikah oleh Rangga," lanjut ibu lirih.
Nadia yang saat itu sedang meletakkan piring di atas meja mengangguk sambil berdeham. “Seharusnya dia bis—“
“Yang penting dia nyaman dengan pekerjaannya yang sekarang,” sahut seseorang yang baru saja datang.