"Tidak semua keinginan bisa menjadi kenyataan, sebab takdir telah menakar setiap kisah manusia sesuai dengan kemampuannya." ~ibu Mila~
Bismillahirrahmanirrahim.
.
.
.
"Terima kasih."
Pemuda itu mengangguk dan tersenyum. Zen terpaku sesaat. Pun dirinya ikut mengangguk kaku setelah beberapa menit. Masih menatap wajah tampan yang begitu sempurna. Kedua bola mata bulat terbingkai alis tebal. Hidungnya mancung dengan bibir pink layaknya bayi. Zen sekali lagi meloloskan diri dari kedzaliman dunia. Entah kenapa kali ini dirinya tidak bisa mengendalikan keadaan diri.
'Astaghfirullah haladzim.' Zen merutuki dirinya dalam hati sambil menunduk kemudian.
"Mama berpesan jika siang nanti bibi diminta ke rumah," ucapnya dengan lembut. Sebenarnya bukan hanya Zen yang dibuat kagum oleh ciptaan Tuhan, hanya saja lawannya lebih pandai dalam mengatasi keadaan diri.
Lagi Zen mengangguk kaku.
"Yasudah, saya permisi."
"I-iya."
Pemuda itu berbalik dan melangkah pergi. Entah mengapa Zen mendadak seperti orang kehilangan nyawanya. Perempuan itu hanya bergeming saja dengan memikirkan pemuda tadi.
"Zen ... Zen ...."
"Astaghfirullah haladzim."
Suara teriakkan ibu dari dalam membuat Zen tersadar seketika. Sambil ia mengusap dadanya sebab terkejut, segera perempuan itu melangkah masuk ke dalam rumah sembari menatap rantang yang dibawanya.
"Sepertinya aku pernah melihat pemuda tadi, tapi di mana ya?" gumam Zen.
Sambil menerawang menyelami pikiran, Zen melangkah menghampiri ibunya.
****
"Sayonara-sayonara sampai berjumpa pulang. buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya."
Terdengar sayup-sayup suara dari dalam kelas. Sebuah lagu yang menjadi ciri khas anak TK ketika akan kembali pulang. Bahkan wali murid telah siap menyambut buah hatinya setelah sekian jam belajar di sana.
Riuh suara teriakkan bocah yang saling berebut ingin pulang lebih dulu sudah biasa terdengar setiap harinya. Meskipun gaduh dan penuh tingkah konyol. Zen begitu sangat menikmati setiap detik saat dirinya mengajar.
"Assalamualaikum, Bu Guru."
Zen tersenyum lebar mendapatkan salam perpisahan yang cukup manis.
"Hati-hati di jalan ya!"
Satu persatu menyalimi tangan Zen sebelum mereka benar-benar meninggalkan kelas. Perempuan yang mengajarkan murid TK A itu tampak tersenyum melihat kepergian anak didiknya.
Ya ... meski tidak jarang ia merasa kesal dan jengkel saat mengajar, tetap ketika kelas akan usai, Zen merasa tidak ingin lekas berpisah. Memang cukup melelahkan mendidik anak usia dini, namun bersama dengan mereka Zen seolah kembali menemukan warna dalam hidupnya.
Sesaat setelah semua murid telah pulang. Langkah kaki imgin kembali masuk ke dalam kelas. Namun suara dering ponsel membuatnya urung melakukan. Tak ingin menunggu lama, Zen segera mengambil benda canggih itu dari dalam saku seragamnya.