"Mungkinkah hatiku yang berdebar ini menjadi sebuah pertanda untukku." ~Zenia Jannat~
Bismillahirrahmanirrahim.
.
.
.
Kedua pasang mata melebar sejenak ketika menatap sosok yang tidak asing. Ya ... Zenia dan Khai pernah berjumpa sebelumnya. Perjumpaan yang tidak sengaja, namun memiliki arti tersendiri bagi Zenia.
"Silahkan duduk, Nak Khai!"
Mengalihkan pandangannya ke arah ibu Mila sedikit kaku. Khai mengangguk sambil melangkah ragu kemudian. Ia kini mendaratkan tubuhnya di atas sofa tepat di depan Zenia.
Pintu yang tadinya terbuka telah kembali tertutup sempurna. Ibu Mila tersenyum melihat tingkah keduanya yang tampak malu-malu.
"Baiklah, kalian berdua ngobrol saja dulu. Ibu akan buatkan minuman. Jangan terlalu tegang! Ingat kata pepatah jaman dulu, jika tak kenal maka tak sayang," ucap ibu Mila mencoba mencairkan suasana sebelum ia berniat meninggalkan keduanya.
Zenia tampak menundukkan pandangannya. Dengan degup jantung yang tidak biasa, ia meremas tangannya sendiri. Merasa gugup juga tidak nyaman. Bersamaan dengan itu, berbagai pertanyaan mulai muncul setelah kejadian tempo hari kembali berputar dan menghasut sebagian akalnya.
'Bukankah dia sudah memiliki keluarga?'
'Apa dia berstatus duda?'
'Apa dia ini ingin menjadikanku istri kedua?'
'Astagaa ... aku tidak mungkin menikah dengan pria beristri. Jika mungkin duda, aku masih bisa menerima tapi, apa iya, ibu menjodohkan aku dengan seorang duda?'
Samar Perempuan itu menggeleng. Menghalau pikiran yang berkumpul di kepalanya. Hati nurani menegur diri, tidak baik memiliki prasangka terhadap orang lain yang bahkan baru mengenal.
"Baik Bu, tidak perlu repot-repot," balas Khai.
Bu Mila tersenyum lembut sambil menggeleng. Ia memilih diam dan berlalu pergi meninggalkan putrinya dan tamu tersebut. Berharap ada sesuatu yang nantinya akan membuatnya bahagia.
Hening sejenak.
Eheerm ....
Khai berdeham untuk memulai menetralkan perasaan. Ia menatap wajah Zenia yang menunduk tapi, masih dapat terlihat jelas. Memperhatikan paras cantik dengan pahatan wajah yang cukup membuatnya terpanah, meski ia sendiri tahu jika kali ini bukanlah pertemuan pertama bagi mereka.
"Tidak menyangka jika kita akan bertemu lagi dalam situasi seperti ini."
Mendengar tamunya mulai menyuarakan isi hati, Zenia mengangkat wajahnya.
"Khai." Sambil ia menyodorkan tangannya.
Perempuan itu menatap lekat wajah Khai sebelum ia kembali sadar untuk tidak melakukan hal yang tidak seharusnya.
"Ya ... senang bisa bertemu lagi dengan Anda. Tidak menyangka pertemuan kedua kalinya akan menjadi seperti ini, Mas," balas Zen sambil menjabat tangan lelaki tersebut.
"Zenia."