Entah keberuntungan atau kesialan, yang jelas lelaki itu telah mengusik ketenanganku." ~Zenia Jannat~
Bismillahirrahmanirrahim.
.
.
.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, Zenia tak henti-hentinya mengutuk lelaki yang sempat dijodohkan dengannya. Ia tak menduga jika lelaki itu benar-benar brengsek.
Menggeleng kecil untuk kesekian kalinya sembari mengucap istighfar. Tidak menyangka jika dia akan menemui sosok lelaki gila yang tidak jauh berbeda dengan mantan kekasihnya.
"Jika mencintai seseorang seharusnya dia berjuang, bukannya mengorbankan perasaan orang."
Kekecewaan dan kekesalan menemani perjalanan pulang Zenia siang itu. Berniat akan bisa tersenyum meski tidak bersama, namun, hati terlanjur menderita.
Sebelumnya.
"Bisakah kita tetap menikah tapi, menjalani hubungan seperti biasanya?"
Zen terperangah tidak percaya. Sungguh gila lelaki di depannya itu. Perempuan itu pikir, jika Khai adalah sosok lelaki yang baik juga bertanggung jawab sebab keberaniannya untuk jujur patut diacungi jempol tapi, nyatanya semua lelaki selalu memiliki keburukan tersendiri. Begitulah kesan akhir yang disimpulkan oleh Zenia Jannat.
Menggeleng kecil dan memaksa untuk tersenyum tipis. "Permintaan macam apa itu? Pernikahan bukan untuk dipermainkan, Mas. Maaf, aku tidak bisa," tolak Zen tanpa menunjukkan amarahnya.
Bergejolak hati Khai. Perempuan cantik yang terkesan sangat lembut itu membuatnya berpikir keras mengenai permasalahan yang membuat dirinya mendapatkan penolakan, bahkan tanpa ada pertimbangan.
"Maaf, bukan maksudku untuk mengambil keuntungan dari pernikahan semacam itu tapi–"
"Zenia rasa usia Mas Khai sudah cukup matang untuk memahami arti dari sebuah pernikahan dibandingkan dengan Zen. Jika Mas Khai sudah memiliki seseorang yang dicintai dan ingin menikahinya, maka perjuangkanlah!" sahut Zen yang mulai sedikit kesal.
Terdiam, Khai hanya menatap dalam diam. Tidak menyangka jika perempuan yang ada di depannya itu sangat tegas dari yang ia pikirkan. Tadinya, ia mengira akan mudah membujuk perempuan itu agar menyetujui rencananya tanpa harus membuat masalah semakin sulit.
"Oke, sorry Zen."
Pemilik nama mengangguk kecil. Sepertinya wanita itu sudah tidak betah lagi jika harus berlama-lama berada di sana. Segera ia memasukkan kembali barang-barang miliknya ke dalam tas.
"Baiklah Mas, jika sudah tidak ada yang dibicarakan lagi. Saya ingin pamit terlebih dulu."
Zen telah selesai merapikan barang miliknya. Perempuan itu beranjak dari duduknya. Tersenyum tipis kemudian.
"Saya permisi, Mas!"
Masih menyimpan kata demi kata yang hampir mengudara, sangat ingin merayu bahkan memohon. Namun, Khai hanya bisa memendam rasa sebab Zenia kini telah bergegas. Lelaki itu tidak memiliki kesempatan lagi untuk bernegosiasi.