Seseorang yang tidak dapat diakui kredibilitasnya pernah berkata, "Minimal sekali seumur hidup kamu harus bermimpi pergi ke luar negeri."
Sialnya saya menuruti kata-kata itu. Karena saya pikir mimpi itu gratis, tidak ada salahnya untuk dicoba dan diusahakan senyaman mungkin. Ternyata, untuk dapat terwujud, mimpi itu perlu dibangun lima belas tahun lamanya.
Perth. Sebuah kota di bagian Barat Australia. Kota yang terkenal dengan keindahan Sungai Swan, tempat paling nyaman untuk memandang wilayah kota. Tuhan mengizinkan saya untuk menjadi penduduk kota ini, setelah saya selesai merawat luka batin di masa lalu. Namun, bukan tanpa alasan, ada seseorang yang ingin saya temui.
“Nanti setelah sampai di bandara, kabari saya ya.” Sebuah pesan singkat masuk.
Saya sedikit acuh, bisa saya balas nanti saja. Penerbangan masih sekitar dua jam lagi. Perasaan yang campur aduk sudah berlangsung selama dua bulan. Mulai dari pengambilan keputusan, urus ini itu, serta debat kusir dengan orang rumah. Tentu saja seorang wanita muda akan lebih susah dilepas dari rumah, perlu restu agar perjalanan hidup yang panjang ini berjalan dengan baik.
Tiga bulan lalu, saya menghadiri acara bedah buku di Gramedia. Buku tersebut berjudul Seni Navigasi Karir dan Dunia Kerja yang ditulis oleh Pak Pambudi Sunarsihanto dan kawan-kawan. Kebetulan saat itu saya mendapatkan kesempatan untuk bertanya seputar karir. Pertanyaan saya terdengar klise tapi patut diacungi jempol.
"Terima kasih atas materi yang Bapak paparkan. Perkenalkan sebelumnya, Pak, nama saya Tala, kebetulan saat ini saya bekerja sebagai Analis di salah satu perusahaan swasta. Saya memiliki sedikit keresahan, Pak. Mungkin sebutan Sandwich Generation yang sedang viral saat ini cukup relate dengan keadaan saya. Tentunya saya sangat bersyukur, sudah mendapatkan pekerjaan yang baik dan halal. Namun, ternyata menjadi tulang punggung keluarga tidak semudah itu ya, Pak. Diterima sebaik apa pun setiap hari terasa lelah. Mohon pencerahan agar saya bisa menerima dan bagaimana caranya untuk selalu ikhlas?" Saya menjelaskan dengan sedikit gemetar.
"Baik, Mba Tala, dalam situasimu saat ini, mengerti dan menerima kondisimu adalah langkah penting. Meskipun pekerjaanmu tidak sesuai passion, jadikan setiap hari sebagai kesempatan untuk memberi yang terbaik bagi keluarga. Seperti lilin yang menyalakan dirinya untuk menerangi sekitar, pengorbananmu memberikan cahaya dan kehangatan bagi orang-orang yang kamu cintai. Tetap teguh dalam nilai-nilai baik dan berkontribusi positif, sambil mencari jalan menuju pekerjaan yang lebih sesuai dengan minatmu di masa depan. Semoga keikhlasanmu dalam menghadapi tantangan hidup memberimu kekuatan dan ketenangan hati." Jelas Pak Pam menjawab pertanyaan saya.
"Oh iya, ini saya punya voucher taksi, bisa digunakan di seluruh Indonesia. Semoga bermanfaat, ya." Pak Pam melanjutkan sekaligus menyerahkan dua kertas berbahan art paper tapi lebih tipis.
"Terima kasih, Pak." Ucap saya dengan riuhnya tepuk tangan.
Masih di antara riuh itu saya mulai bertanya, apakah di sudut-sudut ruangan ini ada orang yang lebih susah dari saya namun dia memilih diam tanpa bercerita? Atau apakah hanya saya di ruangan ini yang diberi tugas berat oleh semesta?
Sebagai prolog cerita ini, menjadi Sandwich Generation bagi saya adalah luka yang harus disembuhkan sendirian. Namun, kebaikan tetaplah kebaikan, sudah menjadi hukum alam, "ia" akan kembali kepada pelakunya. Saya merasa bahwa kebaikan itu selalu pulang dengan wujud yang lain. Ya, sesederhana menjadi cara Tuhan yang tidak pernah membiarkan saya pergi tanpa satu rupiah pun di saku. Terkadang, secara nilai ia selalu bertambah setiap harinya.
Bersama kemuning bias Sang Surya, saya ajak angin berbicara, jika Ibu dan Bapak sudah tidak ada, apakah rupiah-rupiah itu masih akan sama maknanya?
***
Hari ini voucher hadiah itu saya manfaatkan untuk memesan taksi online menuju bandara. Mobil yang membawa barang-barang pilihan, mulai melaju di antara riuhnya Kota Jakarta.