Stasiun, bandara, maupun pelabuhan adalah tempat-tempat yang seringkali tumpah oleh air mata perpisahan. Di tempat itu pula air mata kebahagiaan tak jarang memenuhi titik-titik perjumpaan. Jika sekilas memandang, kita tidak akan tahu apakah seseorang mengeluarkan air mata kesedihan ataukah air mata kebahagiaan. Namun, ada satu tempat di mana kita tak perlu menebak karena air mata yang keluar niscaya air mata kesedihan sebab perpisahan.
Perpisahan yang terjadi di tempat itu berbeda. Tidak direncanakan dan tidak ada seorang pun yang tahu. Siapa yang pergi? Siapa yang ditinggal pergi? Tidak ada yang tahu peran mana yang akan kita peroleh untuk perpisahan selanjutnya sampai hari itu terjadi. Kita hanya bisa menebak di atas kepastian bernama takdir. Melangitkan doa-doa untuk setiap perpisahan yang akan datang, semoga berita kepergian selanjutnya tidak datang dari orang-orang tersayang.
Hari ini, aku sedang berada di suatu tempat itu. Suatu tempat yang selalu mengadakan upacara untuk setiap perpisahan yang terjadi. Rintik hujan yang turun memeluk bumi mempercepat kepergian orang-orang meninggalkan upacara yang baru saja selesai. Namun, aku masih ingin tinggal sedikit lebih lama di sini.
“Kamu masih mau di sini, Zet?”
“Iya, aku masih mau ngobrol sama kakak,” jawabku.
“Ini payungnya. Kami tunggu di mobil, ya?”
Aku hanya menjawab dengan sekali anggukan seraya mengambil payung hitam yang disodorkan mama. Hujan yang turun kali ini tidak lagi untuk menyamarkan air mata, namun ia turun untuk menggantikan tangisku yang mulai mengering. Ia berhenti bukan sebagai tanda hilangnya kesedihan. Aku hanya lelah jika harus menangis lagi. Aku lelah saat tangisku tak bisa membuatmu menjawab berbagai pertanyaanku lagi.
“Apa kamu baik-baik saja, kak?”
“Bukannya kamu sudah berjanji untuk mengajakku jalan-jalan lagi?”
“Siapa yang akan mengajariku saat aku tak mengerti tentang pelajaran di sekolah?”
Aku mengembuskan nafas panjang. Aku tahu bahwa kau tak akan menjawabnya. Namun, biarkan aku tetap bertanya kepadamu untuk yang terakhir kalinya, meski aku tak akan pernah mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.
Aku tak peduli sudah berapa lama aku berada di samping pusaramu. Mencegah air hujan membasahi batu bertuliskan namamu. Gaun hitam yang kukenakan kotor oleh percikan tanah sebab air hujan mengenainya, aku juga tak peduli. Aku masih akan menemanimu sampai beberapa saat. Sayangnya, semesta tak mengizinkannya.