Otak dalam kepala manusia adalah salah satu misteri yang tidak pernah membuatku bosan saat membicarakannya. Di dalamnya proses berpikir terjadi. Sebuah proses yang memungkinkan kita untuk merepresentasikan dunia sesuai dengan pemahaman, gagasan, maupun imajinasi. Ia mengolah informasi yang diperoleh tubuh dan kemudian meresponsnya. Entah berbentuk refleks anggota tubuh, keputusan, bahkan sebuah prediksi tentang masa depan.
“Kak, gimana kalau misalnya aku nggak bakal pernah ngerasain kuliah?”
Secara tidak sadar, aku telah menghentikan pergerakan tanganku dari kegiatan mengupas mangga, saat Mega tiba-tiba memecah keheningan dengan melontarkan sebuah pertanyaan yang cukup menggangguku—dan aku yakin pertanyaan itu pun membuatnya tak nyaman. Aku menghela nafas panjang sebelum menanggapi pertanyaannya. Namun, kepalang tanggung jika mangga ini tak dilanjutkan sampai menjadi potongan kecil siap makan. Aku mengurungkan niat awalku dan memilih untuk meneruskan kesibukanku dengan mangga ini. Alasan sebenarnya karena aku tak yakin apakah ia menanyakan itu untuk mendapat jawaban dariku ataukah hanya sebuah reaksi tubuh atas apa yang sedang dipikirkannya.
“Kenapa jadi pesimis gitu? Bukannya dulu kamu yang janji ke kakak kalau bakal terus berusaha biar bisa kuliah?” ucapku sembari berjalan mendekatinya. Aku meletakkan piring kecil dengan potongan mangga di atas meja yang terletak persis di samping tempat ia berbaring.
“Aku takut. Tadi malam aku bermimpi sesuatu yang buruk terjadi padaku.” Matanya menerawang jauh ke langit-langit kamar. Tangannya terlihat gemetar. Aku meraih dan menggenggamnya dengan kedua tanganku. Sesaat kemudian ia menoleh ke arahku lalu berkata, “Oh iya, kata mama kalau mimpi buruk kan nggak boleh diceritakan ke orang lain. Kak Zeta lupain yang aku bilang tadi ya, hehe.”
Aku tersenyum sembari mengelus puncak kepalanya. Keheningan kembali membersamai kami di ruangan berukuran 3x6 meter persegi ini. Matanya kembali menatap langit-langit dan aku yang tetap menatapnya. Aku tak tahu apakah pertanyaan itu masih memenuhi pikirannya. Namun, jika itu aku, aku sangat tak menyukai saat memikirkan hal-hal yang membuatku takut. Biarkan saja otakku dipenuhi segala hal tentang kartun spongebob jika dengan begitu bisa membuatku tenang.
Ah, ngomong-ngomong mudah sekali aku melupakan potongan mangga yang baru saja selesai aku kupas. Sepotong kecil mangga ini telah masuk ke dalam mulutku. Manis, meski jika aku kecap secara seksama akan terasa bahwa terdapat bagian yang sedikit masam. Apa yang membuat potongan kecil sebuah mangga bisa memiliki dua rasa? Atau mungkin bisa lebih dari dua, hanya saja aku yang tak bisa merasakannya. Seperti hal-hal yang terjadi di dunia ini, sangat mungkin sebuah hal kecil memiliki banyak sudut pandang yang kadang kita pun tak mampu melihat dari sana—atau belum. Bisa jadi, refleks tubuh kita memang tak memperbolehkan pikiran berjalan-jalan di luar batas kenyamanan sebagai salah satu bentuk pertahanan.
“Kalau kamu nggak kuliah, nanti nggak tahu gimana serunya, loh!” ucapku. Tentu saja aku masih merahasiakan bagaimana pusingnya mata kuliah maupun tugas yang menumpuk tanpa aba-aba.
“Benar juga. Sepertinya kecil kesempatanku untuk bisa menjadi ketua osis, solusinya aku harus kuliah biar bisa jadi ketua BEM.” Aku merasa sedikit lega. Senyumnya mengiringi semangat yang beberapa menit lalu sempat redup. Kali ini, potongan mangga masuk ke mulutnya sampai tak menyisakan potongan kecil lainnya di atas piring. “Aku juga ingin kuliah di kampus yang ada UKM debatnya, walaupun aku belum tahu sama sekali tentang dunia itu, tapi kak Zeta pasti bakal ngajarin aku kan?” Ia mengatakannya sembari menoleh ke arahku dengan binar mata yang penuh semangat. Aku mengangguk pelan.
Satu jam lagi keretaku berangkat. Hal itu aku ketahui setelah melirik jam yang ada di samping kanan TV ruangan ini. Aku mengambil ponsel untuk kemudian menelepon mama. Dua kali nada sambung terdengar barulah telepon diangkat.
“Ma, masih lama? Aku takut telat nyampe stasiunnya.”
“Masih antri bayar di kasir, kamu pergi saja, sebentar lagi juga selesai,” ucap mama dari seberang sana. Setengah jam lalu ia pergi ke minimarket untuk membeli beberapa barang.
“Baiklah.” Telepon kututup.