ZETA

Pukul Sepuluh Malam
Chapter #3

DUA

Salah satu hal yang aku sukai dari gedung fakultasku adalah kita bisa melihat pemandangan sekitar setiap keluar dari pintu ruangan. Gedung ini dibangun dengan tanpa ada satu pun ruangan yang saling berhadapan. Sehingga, angin sepoi-sepoi selalu bisa dirasakan di depan ruangan mana pun, seperti saat kita sedang berada di sebuah balkon rumah. Bahkan, ketika hujan pun kita bisa dengan mudah menggapai rintik-rintiknya.

Aku keluar dari ruang dosen yang berada di lantai dua. Kemudian, aku berjalan menuju pagar serambi. Hujan sudah mulai reda. Mendung tak terlihat dan langit perlahan kembali membiru. Sepertinya aku harus segera pulang ke kos sebelum hujan turun tiba-tiba. Namun, angin yang berembus lembut ini sangat sayang untuk ditinggalkan. Mungkin, aku akan menikmati ini beberapa waktu lagi.

Dari atas sini, beberapa mahasiswa yang menggunakan jas lab terlihat sedang melakukan pengamatan di kolam air mancur. Aku tidak tahu dengan persis prodi apa yang sedang melakukan praktikum di situ. Sebagian yang lain keluar dari kelas-kelas karena saatnya pergantian jam kuliah. Kios-kios kantin mulai terisi oleh mahasiswa yang tidak ada kuliah pada jam selanjutnya. Terkadang, aku jadi rindu saat-saat belajar di kelas. Semester ini kebetulan aku tak mengambil mata kuliah apapun selain skripsi. Jadilah kegiatanku di kampus hanya untuk bertemu dosen dan kadang pergi ke perpustakaan untuk menikmati fasilitas wifi.

Ting!

Sebuah notifikasi chat. Aku mengambil ponselku dan melihat siapa yang mengirim pesan. Setelah kubuka, ternyata Mega sedang ingin mengobrol. Aku pikir bercerita di telepon akan lebih baik. Beruntung, era saat ini memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang jauh.

“Halo, Kak!”

“Hai, kamu sudah makan? Apa mama ada di sana juga?” tanyaku.

“Sudah, kok. Kakak mau bicara sama mama?”

“Nggak, nggak usah. Tanyakan saja, barangkali ada buku catatanku yang tertinggal di sekitar sofa.” Aku baru teringat saat konsultasi tadi tak ada buku itu di dalam tas. Padahal isinya tentang hal-hal penting untuk skripsiku.

Aku dan mega mengobrol sekitar setengah jam. Ia banyak menanyakan tentang perbedaan sistem belajar di SMA dan kuliah. Sesekali ia pun menanyakan tentang organisasi dan kompetisi debat. Sepertinya ia sungguh-sungguh tertarik dengan dua hal itu.

 “Kakak sudah berapa kali ikut lomba debat saat kuliah?” tanya Mega.

“Hmmm... berapa ya? Seingat kakak tiga kali,” ucapku asal.

“Kenapa nggak pernah bilang? Kan siapa tahu aku dibolehin mama datang ke lokasi buat lihat kakak,” protesnya.

“Dari ketiganya nggak ada yang menang, kok. Jadi, nggak papa kalau kamu nggak datang,” jelasku.

“Ya kan cuma ingin lihat kakak waktu lomba.”

“Ya sudah, besok-besok kalau kakak ikut lomba lagi bakal aku kabari deh.”

Lihat selengkapnya