“Pi pasti nggak percaya sama pilihanmu sampai menyuruhku buat menemani kamu,” kataku sembari sedikit terkekeh. Keesokan harinya, aku sedang menemani salah satu sahabatku—sekaligus pacar dari sahabatku yang lain—mengelilingi mall. Namanya Gamma. Dia cowok yang unik, teman-teman sekampus pasti setuju dengan pendapatku—atau lebih menganggapnya aneh. Sejujurnya, diksi ‘aneh’ menurutku cukup memberikan konotasi negatif padahal Gamma adalah teman yang sangat baik dan bisa diandalkan.
“Kalian pasti komen apa pun baju yang aku pakai,” jawab Gamma agak sewot sembari menerima sepasang sepatu yang aku pilihkan.
“Gimana nggak komen, orang kamu ke kampus saja bajunya kayak boyband korea mau manggung,” protesku.
“Coba deh sesekali masuk kelasku, hawanya suram banget. Anak SI kan kebanyakan cowok, mana pasti pake baju gelap-gelap.”
“Terus kamu mau jadi pemberi warna, gitu?”
“Iya, dong. Tapi ya, dosen jadi sering nunjuk dan nyuruh untuk mengerjakan soal ke depan atau presentasi duluan. Apa terlalu mencolok ya?”
“Sadar, woy. Hahaha,” aku semakin terkekeh dengan tingkahnya. Kesambet apa Pi bisa jadian sama anak ini. “Ingat nggak, kamu pernah pakai celana kuning sama baju hijau cerah terus anak-anak pada ngatain mirip stabilo jalan.” Salah satu pilihan pakaiannya yang paling aku ingat karena tiap kita jalan bareng orang-orang sekitar pasti menengok.
“Aku jadi tahu gimana rasanya jadi artis gara-gara itu, hahaha. Kapan-kapan aku yang pilihin baju buat kamu ya, Zet?”
“Ogah,” jawabku singkat lalu kami pun tertawa.
Gamma mencoba sepatunya, menimbang-nimbang apakah ukuran ini sudah pas dengan kakinya. Mbak-mbak SPG mendatangi kami, menawarkan bantuan. Gamma meminta untuk dicarikan satu nomor di bawah sepatu itu. Untungnya dia nggak menolak dan mengganti sepatu hitam yang kupilihkan dengan warna mentereng lainnya.
“Cewekmu keren banget, Gam. Baru juga kemarin ikut lomba eh udah persiapan lomba lagi. Hari ini dia lagi uji coba presentasi sama dosen ya kalau nggak salah?” tanyaku.
“Kayak baru kenal dia saja, dari semester satu juga sudah ambis. Iya lagi ketemu dosen, tapi katanya sebelum jam istirahat siang juga sudah selesai jadi bisa ikut kita ngumpul kayak biasa.”
“Bagus, deh. Eh, tapi kamu juga keren, sih. Kas…,” ucapanku belum selesai dan sudah terlebih dahulu dipotong oleh Gamma.
“Oh, kalau keren sih memang dari dulu.” Gamma mengambil kacamata hitam yang ia kaitkan di bagian leher sweater dan kemudian memakainya.
“Bukan itu, duh! Keren karena sudah diminta perusahaan padahal kamu belum lulus. Kasih bocoran dong dapat gaji berapa?”
“Sepuluh.” Gamma menjawab singkat dengan tetap memakai kaca mata hitamnya.
“Astaga! Bisa bayarin UKT dua semeseter tuh,” ucapku antusias.
“Emangnya mau nambah kuliah setahun lagi?”
“Perumpamaan, Gamma!”
Mbak-mbak SPG kembali mendatangi kami dengan membawa sepatu yang diminta Gamma. Kami menuju kasir untuk membayar. Setelah itu, perjalanan kami berlanjut ke bagian baju dan celana. Sepertinya memang tidak ada baju milik Gamma yang pantas ia gunakan ke kantor. Sehingga kami harus membeli pakaian dari atas sampai bawah. Besok adalah hari pertama Gamma bekerja, Pi tidak mau hari pertama Gamma bekerja justru terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mengingat gaya berpakaian Gamma selama kuliah cukup nyentrik.
Aku memang terlahir dari keluarga berkecukupan. Tak perlu bekerja selama kuliah pun uang saku sudah berlebih. Gamma juga lahir dari keluarga dengan latar belakang sama sepertiku. Aku tak tahu apa yang membuatnya mengambil keputusan untuk bekerja meski belum lulus. Bahkan, seingatku ia pernah bercerita sudah bekerja freelance sejak mahasiswa baru. Dilihat dari mana pun, lebih cepat mendapat kerja adalah hal baik.
Bagaimana rasanya membeli barang-barang atau membayar uang kuliah dengan hasil keringat kita sendiri? Aku sama sekali tak pernah membayangkannya hingga saat ini. Aku terlalu fokus dengan kuliahku. Tak pernah memikirkan hal-hal lainnya. Apakah akan sama rasanya seperti membeli mainan dengan uang saku yang kita tabung saat kecil dulu? Melihat Gamma telah bekerja, membuatku teringat bahwa aku sudah memasuki semester delapan. Sebentar lagi, aku pun harus mencari kerja.
“Kayak apa rasanya bisa beli barang pakai uang sendiri, Gam?” Pertanyaan yang awalnya hanya dalam kepalaku pada akhirnya kulontarkan juga.
“Baru juga mulai kerja besok, belum gajian.”