Rasanya, hampir dua minggu penuh aku selalu datang dan berada di perpustakaan kampus sejak pagi sampai malam. Pulang ke kos hanya untuk mandi dan tidur. Bahkan, weekend kemarin aku tidak sempat pulang ke rumah. Kata mama, sejak minggu lalu Mega sudah boleh pulang. Jadi, aku tak perlu khawatir dan bisa fokus untuk skripsi.
Mencari judul baru ternyata tak mudah. Aku harus mencari referensi yang cukup meyakinkan bahwa judul skripsi yang kuambil nanti bisa dikerjakan. Jika tidak, kejadian seperti kemarin akan terulang dan semakin memperbesar peluangku untuk lulus terlambat. Oleh karena itu, aku perlu memperbanyak riset dan membaca berbagai jurnal, termasuk referensi skripsi milik kakak tingkat yang hanya bisa diakses melalui perpustakaan. Itulah mengapa akhir-akhir ini aku menjadikan perpustakaan seperti kos keduaku.
Sebenarnya, aku cukup sering datang ke perpustakaan untuk mencari suasana tenang. Entah untuk mengerjakan tugas, menunggu kelas selanjutnya, atau sekadar mencari akses wifi dengan kecepatan tinggi. Meski ada beberapa tempat yang cukup berisik karena sering digunakan sekelompok mahasiswa untuk belajar bersama atau mengerjakan tugas kelompok. Menurutku, beberapa ruangan di perpustakaan ini memang mirip co-working space. Sehingga, tak jarang perpustakaan dijadikan pilihan utama untuk mengerjakan tugas. Untungnya, terdapat ruangan khusus yang disediakan bagi mahasiswa yang ingin mengerjakan tugas akhir. Sebuah ruangan berukuran sekitar 8x12 meter yang dipenuhi rak-rak berisi tugas akhir versi cetak serta beberapa komputer untuk mengakses versi softfile-nya.
Hari ini adalah hari jumat, sebelas hari setelah judulku ditolak dosen pembimbing. Setidaknya, beberapa hari bertapa di sini memberikan hasil juga. Aku mendapat sebuah judul yang cukup meyakinkan untuk dapat dikerjakan. Mengapa aku tak mengambil judul yang pernah dikerjakan oleh peneliti lain adalah karena peraturan skripsi di kampusku memang tak memperbolehkannya. Tugas akhir haruslah sebuah penelitian yang baru. Sehingga, menentukan judul skripsi adalah salah satu hal yang memang cukup krusial.
Aku memindahkan buku dan laptop ke dalam tasku. Perpustakaan ini mengharuskan pengunjung masuk menggunakan tas transparan yang telah disediakan. Terdapat lemari khusus untuk menyimpan tas pengunjung di dekat pintu keluar. Mungkin untuk mencegah buku-buku di sini agar tidak ada yang mengambil sembarangan. Setelah ini, aku harus pergi menemui dosen pembimbingku. Semoga saja kali ini judulku tak ditolak lagi.
“Presma yang baru nggak sekeren kemarin, ya?”
“Presma kemarin? Kak Alfa maksudmu?”
“Iya. Udah cakep, pintar, ramah, apalagi pas orasi. Gila deh keren banget!”
“Belum kelihatan aja kali, kan baru saja dilantik.”
“Seenggaknya kan sudah ada gambaran, jauh banget kalau dibandingkan sama Kak Alfa waktu uji publik dulu.”
“Kita lihat saja sekeren apa presma baru kita.”
“Kak Alfa prodi apa sih? Kok aku lupa ya.”
“Statistika kalau nggak salah.”
“Wih, fakultasnya sebelahan dong sama kita. Kalau makan siang ke kantin sana saja, yuk. Barangkali bisa ketemu, hehe.”
“Boleh saja, sih. Kantin mereka juga murah-murah.”
“Eh, kamu kan dulu juga anak BEM. Kenalin dong ke kak Alfa,”
Dua orang cewek di belakangku membuat tujuanku memasukkan barang ke dalam tas menjadi terhambat untuk beberapa saat hanya untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Sebenarnya aku cukup sering mendengarkan pembicaraan seperti ini. Tapi, entah mengapa aku selalu ingin mendengarkan apa yang orang-orang bicarakan tentang teman-temanku. Benar, tidak hanya Alfa, Pi juga cukup sering dibicarakan mahasiswa sini karena berbagai lomba yang ia menangkan. Sehingga, nama dan fotonya pun sering memenuhi akun-akun media sosial kampus.
Aku membuat janji untuk konsul pukul satu setelah istirahat siang. Masih ada sekitar lima belas menit saat aku sampai di fakultasku. Aku lapar, namun tak nafsu makan sampai judulku di-acc. Aku mampir untuk mencetak jurnal referensi yang menjadi dasar judul skripsiku. Masih ada sedikit waktu, aku putuskan untuk menunggu saja di depan ruang dosen. Aku membuka kembali catatanku tadi dan menyusun apa yang harus aku sampaikan nanti.
Sekitar satu jam aku menunggu, Bu Nana—dosen pembimbingku—baru datang entah dari mana. Satu jam bukanlah waktu terlama saat menunggu dosen. Bahkan, membuat janji pagi hari namun baru bisa bertemu saat siang atau sore. Sepertinya hal itu sudah umum di kalangan mahasiswa semester akhir. Tak jarang juga saat tiba-tiba janji konsul dibatalkan sebab rapat atau dosen tersebut menjadi penguji sidang skripsi.
“Oh iya, kamu ada janji konsul sama saya, ya? Maaf tadi saya menggantikan dosen lain untuk jadi penguji,” ucap Bu Nana.
“Iya Bu. Nggak papa,” jawabku.
“Ya sudah, ayo masuk ke ruangan saya.”
Aku mengikuti langkah Bu Nana. Sesi konsultasiku kali ini tidak lama. Aku hanya diminta menjelaskan judul apa yang akan kuambil beserta dasar teorinya. Meski awalnya Bu Nana sedikit ragu, akhirnya aku bisa meyakinkan beliau dengan menjawab beberapa pertanyaan beliau dengan baik. Sebenarnya, pertanyaan itu pun berlaku juga untuk meyakinkanku bahwa judul kali ini benar-benar bisa dikerjakan.
“Karena kamu yakin kali ini bisa dikerjakan, judulnya saya acc. Sekarang kamu ke koprodi untuk minta tanda tangan biar bisa dapat dosen pembimbing kedua.”
“Baik, Bu. Terima kasih banyak,” ucapku sembari melangkah ke luar menuju ruang koprodi yang terletak di dalam kantor program studi.