ZETA

Pukul Sepuluh Malam
Chapter #6

LIMA

“Oh, Kak Zeta sudah pulang.” 

Tempat pertama yang aku kunjungi setiba di rumah adalah kamar Mega. Ia sedang membaca buku di atas ranjangnya. Sepertinya ia baik-baik saja. Wajahnya tidak sepucat saat di rumah sakit tempo hari. Ada sepiring potongan mangga di atas meja. Aku berjalan untuk mencicipi beberapa potong mangga itu. 

“Belum tidur?” tanyaku.

“Astaga, Kak. Baru juga setengah delapan.”

“Mau aku bikinkan teh atau susu hangat?” tawarku.

“Susu hangat.”

“Oke.”

Tubuhku terasa lelah sekali. Namun, aku juga ingin meminum segelas susu hangat agar tidurku lebih nyenyak. Ayah dan mama terlihat sedang menonton TV di ruang tengah. Aku tak tahu apakah mereka benar-benar menontonnya atau hanya agar pembicaraan mereka tersamarkan oleh suara dari TV. Aku mendekati mereka untuk menawarkan minuman.

“Yah, Ma, mau aku bikinkan kopi atau lainnya?”

“Kebetulan, Ayah kopi, ya. Pakai cangkir kecil.”

“Mama teh hangat.” 

“Susu, kopi, teh,” gumamku sembari berjalan ke dapur.

Aku menyalakan kompor untuk merebus air. Menyiapkan gelas-gelas dan mengisi masing-masing dengan bubuk kopi, susu, serta satu kantong teh celup. Masih ada beberapa menit sampai airnya mendidih. Salah satu sisi dapur yang berhadapan dengan letak kompor terdapat pintu menuju halaman belakang. Aku membukanya. Melihat langit malam yang dipenuhi bintang. Mereka bersinar, meski sebagian terlihat redup. Aku yakin bintang yang redup itu masih lebih terang sinarnya dibandingkan masa depanku yang belum jelas mau dibawa kemana.

Aku dikelilingi sahabat-sahabat yang sudah berlari jauh di depanku, meski sebenarnya mereka tak pernah sedikit pun berniat meninggalkanku. Mereka hanya melakukan apa yang  mereka suka, membuat jalan untuk masa depan masing-masing. Sedangkan aku, tak tahu apa yang kusuka, tak tahu harus melakukan apa. Aku seperti bintang redup yang berada di antara bintang-bintang dengan kelip terang. Menyilaukan. 

Sebuah perasaan yang sangat mengganggu adalah saat aku tidak punya alasan untuk membenci seseorang, meskipun aku tidak tahu, apakah perasaan ini akan lenyap saat telah kutemukan suatu alasan. Mungkin, hal ini hanyalah pembenaran atas ketidakmampuanku menghadapi dunia. Mencari kambing hitam agar aku merasa puas bahwa semestalah yang salah. Maka, bukan aku yang bertanggung jawab saat aku tak bisa seperti mereka, bukan kekeliruanku jika aku lulus tidak tepat waktu. Aku—tak mau disalahkan atas apapun yang terjadi.

Aku benci perasaan ini. 

Aku benci saat tak bisa mengakui bahwa akulah yang tak mampu.

Lamunanku tersadarkan oleh suara air yang mendidih. Aku menutup pintu lalu bergegas mematikan kompor. Tak butuh waktu lama untuk menyiapkan empat gelas minuman. Aku membawa kopi dan teh terlebih dahulu. Ayah dan mama masih dalam posisi yang sama. Namun kali ini tak ada perbincangan di antara mereka. Keduanya sedang menyimak berita perkembangan politik yang semakin panas akhir-akhir ini. Aku meletakkan minuman mereka di atas meja lalu kembali ke dapur untuk mengambil dua gelas terakhir. 

Lihat selengkapnya