Petrichor. Aroma yang tercium saat rintik dari langit baru saja menyapa tanah, lalu perlahan hilang saat tetes air semakin deras. Aku yakin bahwa sebagian besar orang menyukai bau hujan, meski tak sedikit yang mengutuk karena sebuah kenangan turun membersamainya. Menyakitkan, namun selalu ditunggu saat tak kunjung datang. Entah memang menyebabkan candu atau karena masih ada sedikit harapan yang menunggu untuk kembali dikabulkan.
Sore ini hujan turun. Namun, aku tidak sedang mengenang apapun. Mungkin belum. Aku berada di kantin Pak Takur bersama yang lain. Kami terjebak hujan saat makan dan tak bisa menuju parkiran untuk pulang. Piring-piring kami telah diambil oleh salah satu pegawai Pak Takur. Gelas-gelas ukuran jumbo pun mulai kosong isinya.
“Harusnya tadi pesan mi rebus,” ucapku.
“Ya sudah, pesan lagi,” timpal Gamma.
“Kenyang lah.” Pi ikutan menjawab.
“Aku mau pesan mi rebus, ada yang mau aku pesanin juga?” tanya Gamma. Sesaat kemudian Alfa mengangkat tangan sambil menghabiskan beberapa tetes terakhir es tehnya.
“Kalian nggak kenyang?” Aku dan Pi bertanya hampir bersamaan.
“Aku nggak mau melewatkan salah satu kenikmatan duniawi, apalagi ditambah telur setengah matang,” jawab Gamma dengan gaya cengengesannya. Alfa ikut mengacungkan ibu jari tanda setuju.
“Aku nggak paham sama perut cowok,” ucap Pi kemudian sambil menggelengkan kepalanya.
Aku hanya tertawa kecil. Gamma beranjak dari duduknya. Ia tidak bercanda dan benar-benar memesan mi rebus setelah menghabiskan seporsi nasi goreng dan segelas jumbo es jeruk. Pi masih tidak percaya, pandangan Pi mengikuti kepergian Gamma sampai ia kembali duduk bersama kami.
“Kok nggak kerja, Gam?” tanyaku sesaat setelah Gamma kembali.
“Kantor ngebolehin aku kerja remote sampai lulus kuliah,” jawab Gamma.
“Kerja remote gimana maksudnya?” tanyaku lagi.
“Jadi, kerjanya nggak harus di kantor dan nggak harus di jam kantor asal pas deadline semua kelar, mirip freelance gitu sih."
"Baju yang kemarin beli nggak kepakai, dong?" Kali ini Pi ikut bertanya.
"Aku baru kerja remote minggu ini, kemarin-kemarin masih ngantor jadi bajunya tetap terpakai walaupun cuma bentar."
Dua porsi mi rebus ditambah telur setengah matang pesanan mereka datang juga. Bahkan, bau sedap sudah tercium sejak beberapa meter. Asap yang mengepul dari mangkuk menambah kehangatan meski hanya sekadar melihatnya. Suasana sungguh mendukung untuk menyantap mi rebus sebab hujan turun semakin deras. Udara terasa dingin dengan sedikit angin yang membawa percikan-percikan kecil menyentuh permukaan kulit. Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada sedangkan Pi mengencangkan cardigan yang ia pakai.
"Kalian yakin nggak mau nyicip?" Gamma menawarkan kepada aku dan Pi. Aroma mi rebus memang menggoda apalagi asapnya masih mengepul di tengah udara dingin seperti ini.
"Aku nggak, deh," jawabku. Mau bagaimana pun perutku tidak bisa dibohongi.
"Aku mau, tapi kenyang," ucap Pi masih dengan memandangi mangkuk mi milik Gamma. Sedangkan Alfa, tanpa ba-bi-bu sudah sejak tadi melahap mi rebusnya.
"Tolong bantu terjemahin, Zet. Itu maksud dia gimana? Mau nyicip atau nggak." Gamma bertanya kepadaku sambil menunjuk Pi dengan isyarat kepalanya.
Aku hanya terkekeh kecil. Lalu berkata, "Tanya sendiri."
"Nggak, udah kenyang," jawab Pi kemudian.
"Kenapa ngobrol sama cewek harus muter-muter dulu dah, bikin pusing aja," gerutu Gamma. Aku dan Pi bertatapan mendengar ucapannya dan hanya bisa tertawa.
Hujan masih turun dengan deras meski sudah hampir satu jam berlalu sejak rintik pertamanya menyentuh tanah. Kini, petir dan guruh pun sesekali menunjukkan kehadirannya. Kedua mangkuk mi milik Alfa dan Gamma telah kosong hanya berjarak 5 menit setelah pegawai Pak Takur mengantarkannya ke meja ini. Kami semua memandang ke arah hujan. Selain membawa kenangan, hujan adalah salah satu waktu yang nyaman untuk memikirkan banyak hal. Namun, tetap saja aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka. Sedangkan aku lebih memilih untuk tidak memikirkan apapun saat hujan kali ini.