ZETA

Pukul Sepuluh Malam
Chapter #8

TUJUH

Kepergian Alfa kemarin masih membuatku bertanya-tanya. Aku sempat ingin mengiriminya pesan teks namun akhirnya aku urungkan. Mungkin aku saja yang terlalu khawatir karena baik Pi maupun Gamma bahkan tidak bertanya apapun setelah Alfa meninggalkan kami di sore yang hujan itu. Alfa seringkali tak mengatakan kepada kami saat berkumpul tentang jadwal rapatnya dengan organisasi maupun komunitas yang ia ikuti. Tiba-tiba saja ia akan pergi atau datang di tengah pembicaraan. 

Sedangkan Gamma adalah kebalikan dengan Alfa. Gamma adalah orang yang sangat terjadwal dan teliti meskipun ia laki-laki. Jadwal hariannya sangat rapi sekali. Mungkin karena ia harus bisa membagi waktu untuk mengerjakan skripsi, berkumpul dengan kami, dan juga bekerja. Tak jauh berbeda dengan Pi, ia pun salah satu orang dengan jadwal harian yang rapi. Karena aku tinggal sekamar dengan Pi, otomatis aku tak bisa sedikit telat saat kami sudah membuat janji untuk berkumpul jam sekian.

Hari ini kami kembali berencana untuk melanjutkan pembicaraan mengenai lomba yang diusulkan Pi kemarin. Aku dan Pi sedang bersiap-siap berangkat ke kampus. Pi mematut dirinya di depan cermin, sedangkan aku mempersiapkan laptop dan buku catatan lalu memasukkannya ke dalam tas. 

“Ngomong-ngomong, sejak kapan kamu dan Gamma saling suka?” Aku iseng melontarkan pertanyaan kepada Pi. Pi yang sedang memoles bedak di wajahnya sempat berhenti beberapa detik lalu melanjutkannya lagi.

“Sejak kapan ya?” Pi kembali menghentikan kegiatannya. Kepalanya sedikit mendongak untuk berpikir atau mencoba mengingat-ingat dan merangkai potongan-potongan memori yang lampau. “Aku nggak tahu kapan tepatnya, mungkin karena kami sering bareng jadi nggak terasa dan tiba-tiba saja sudah nyaman.”

“Benar juga, kalian kan satu prodi,” ucapku. “Jadi, di kelas juga kalian sering bareng?”

“He’em. Prodiku banyak ngasih proyek berkelompok. Karena aku nggak terlalu bisa ngoding jadi selalu minta Gamma buat sekelompok sama aku, hehe.”

“Asiknya bisa pacaran di kelas, nih.”

“Enggak dong, semester ini kita kan udah nggak ada yang ngambil matkul.”

“Iya, sih.”

Btw, semester ini justru kami paling jarang ketemu. Selain sibuk ngurusin skripsi, aku sibuk lomba, dianya juga kerja.”

“Ketemunya kalau pas kita berempat lagi ngumpul?”

“Iya. Sama waktu weekend.”

“Enak ya punya orang spesial.”

Pi tak segera menanggapi ucapanku. Ia merapikan pakaiannya sebelum berbalik dari cermin. Aku sudah selesai memasukkan barang-barang ke dalam tas. Pi ikut duduk bersamaku di atas pinggiran tempat tidur. Aku sedikit kebingungan, bukankah seharusnya kita segera berangkat ke kampus?

“Zet, yang enak itu justru saat kita dijadikan orang spesial,” Pi menjeda kalimatnya dan mengembuskan nafas sebelum ia melanjutkan ucapannya, “dan kamu akan selalu menjadi orang spesialnya Alfa.”

Aku tahu. Aku tahu akan hal itu.

Kali ini, giliranku yang tak segera menanggapi ucapan Pi. Menganggap spesial seseorang yang tidak menganggap spesial balik adalah sesuatu yang menyakitkan. Dan aku, telah menyakiti seseorang. Namun, tak semudah itu untuk membalasnya. Masih ada sesuatu yang belum selesai.

“Sejujurnya, aku pun merasa bersalah, Pi.” 

“Sepertinya, sudah saatnya kamu harus mulai membuka hati untuk Alfa,” Pi memegang tanganku lalu melanjutkan ucapannya, “sudah terlalu lama, Zet.”

Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sebentar lagi adalah waktu yang kami sepakati untuk berkumpul. Aku beranjak dari tempat dudukku, meraih tas yang ada di samping ranjang.

“Ayo berangkat, sudah hampir jam sepuluh,” ucapku yang mencoba mengalihkan topik. Sepertinya, memang aku yang salah saat memulai pembicaraan.

Pi bergeming. Ia menatapku seperti meminta penjelasan lebih lanjut. Kami masih saling diam sampai beberapa saat kemudian. Pi menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Ia mengembuskan nafas panjang.

“Zet…,” ucapnya lirih.

Aku tidak tahu, apakah empat tahun adalah waktu yang lama untuk menunggu seseorang. Jika iya, maka sepertinya akulah yang bodoh di sini. 

“Baiklah, akan aku coba.” Akhirnya, aku pilih untuk mengalah dan mengakhiri pembicaraan yang cukup mengaduk-aduk perasaanku ini.

Lihat selengkapnya