“Ini naskah kamu, sudah saya tandai yang perlu direvisi.”
“Baik, Bu. Terima kasih.”
Selama menunggu hasil seleksi lomba untuk tahap satu, aku menggunakan waktu tersebut untuk mengerjakan skripsi yang sempat tak tersentuh beberapa hari. Belum ada kemajuan yang signifikan. Sekitar dua minggu ini aku hanya berkutat dengan bab satu yang tak kunjung mendapat acc.
Kali ini, lorong tempat ruang sidang terlihat sepi. Tidak ada teman-teman yang menunggu seperti biasanya. Aku berjalan santai. Pandanganku teralihkan oleh selembar kertas yang ditempel pada pintu ruang sidang. Sebagian besar nama yang tertulis di sana adalah teman yang seangkatan denganku. Namun, ada beberapa nama yang tak aku kenal. Itu adalah nama kakak tingkat. Aku tahu hanya dari nomor mahasiswanya yang memuat kode angkatan.
Hei, tunggu. Aku menemukan satu nama kakak tingkat yang aku kenal. Ia sering dimintai tolong teman-teman angkatan untuk memberi kelas tambahan tentang materi kuliah yang sulit. Aku cukup terkejut saat tahu kakak itu ternyata belum lulus. Jika dihitung-hitung berarti saat ini dia sedang semester sepuluh.
Kira-kira, apa alasan keterlambatannya?
dan… bagaimana perasaannya?
Aku cepat-cepat menghilangkan pertanyaan itu dari kepalaku. Aku cukup yakin, bahwa pertanyaan itu pasti cukup mengganggunya. Akan sama halnya saat pertanyaan itu ditujukan kepadaku. Terkadang, ada saja faktor-faktor yang mempengaruhi suatu hal dan itu di luar kendali kita. Menjadi lebih buruk, saat seseorang bertanya dengan membawa skenario jawaban dalam kepalanya yang sama sekali bukan jawaban sesungguhnya. Oleh karena itu, aku tak mau menduga jawaban dari pertanyaan dalam benakku itu. Sebab terlalu banyak kemungkinan jawaban yang bahkan sama sekali tak terlintas di dalam otak kita.
Hari menjelang sore. Aku memutuskan untuk bersantai sebentar di sekitar danau kampus. Cuaca hari ini cukup cerah, semoga saja hujan tidak turun tiba-tiba. Keadaan di sini cukup ramai oleh beberapa orang yang ingin menikmati suasana sore. Beberapa orang mengajak anak kecil untuk memberi makan ikan. Bahkan tidak sedikit pula yang datang sendiri sepertiku ikut memberi makan ikan.
Danau ini termasuk salah satu tempat yang aku—dan mungkin banyak orang—sukai. Setiap sore akan ada pemandu yang memberi makan burung-burung merpati. Terkadang, kita akan bisa melihat pertunjukan burung-burung itu terbang membentuk huruf ‘V’ di langit. Mereka akan terbang dengan rapi tanpa saling bertabrakan. Sungguh pemandangan indah ditambah langit senja yang terpantul di permukaan danau. Sesekali semilir angin tak lupa datang untuk menggoyangkan dedaunan milik pohon-pohon di sekeliling danau.
Puas memanjakan penglihatanku, aku menutup mata untuk menambah kepekaan indra lainnya. Samar-samar terdengar suara tangisan anak kecil yang entah ia berjarak berapa meter dari posisiku. Suara daun yang jatuh ke permukaan danau pun tak luput dari pendengaranku. Serta semilir angin yang membelai lembut kulit dan menerbangkan beberapa helai rambut.
Tiba-tiba pipiku terasa dingin. Aku sedikit bergeser dan segera membuka mata. Aku mendapati sekaleng soda tepat di depan wajahku. Seseorang menjulurkan tangannya dari arah belakang. Aku berbalik dan mengetahui bahwa seseorang itu tak lain adalah Alfa yang sedang berdiri memegang kaleng soda.
“Al, bikin kaget aja,” gerutuku.
“Sorry. Ini buat kamu,” ucap Alfa seraya memberikan sekaleng soda kepadaku.
“Makasih.” Aku menerimanya dan meminum beberapa teguk karena kebetulan aku cukup haus. “Kamu ke sini nggak cuma mau bagi-bagi soda ini, kan?” Saat aku perhatikan, ternyata Alfa membawa beberapa kaleng soda dalam kantong plastiknya.
“Hahaha, nggak dong. Ini titipan teman-teman yang lagi rapat di sana.” Alfa menunjuk sisi lain danau yang samar-samar memang terlihat beberapa orang sedang berkumpul.
“Eh?” Aku melotot ke arah kaleng soda yang telah kuminum. Sedetik kemudian aku berganti mengalihkan pandangan kepadanya. Meminta penjelasan tentang sekaleng soda yang ia berikan kepadaku.
“Tenang saja, yang kamu minum itu punyaku.”
Aku mengembuskan nafas lega. Alfa mengambil posisi duduk di sebelahku. Kami sama-sama menatap ke arah danau. Lima menit. Tidak ada percakapan di antara kami. Terkadang, diam justru menyimpan lebih banyak penjelasan dari pada percakapan yang disampaikan melalui kata-kata. Seperti lagu tanpa lirik yang dengan mudah mampu mengekspresikan sebuah perasaan.
“Aku pergi dulu. Makasih udah ngasih aku waktu buat nemenin kamu.” Alfa beranjak dari duduknya. Ia membersihkan bagian belakang celananya yang kotor karena kami duduk di rerumputan.
“Nggak, Al. Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu selalu ngasih aku waktu.”