Hari berikutnya,
Asap rokok mengepul di antara penggaris, drawing pen, kertas sketsa, smathphone dan laptop yang masih menyala. Pemandangan kontras dengan seorang berpiyama yang mengaku pemilik semua barang-barang itu.
Sejak setengah jam yang lalu, smarthphonenya berbunyi berulang kali dan Zian membiarkannya saja. Puluhan panggilan tak terjawab dari seorang Adreena. Zian tak merasa itu penting, tapi nuraninya tetap tergugah untuk tak begitu saja mengabaikan perempuan berambut panjang itu. "Apa jadinya jika ia tahu bahwa aku seorang ODHA? Dan apa jadinya jika ia tahu telah tidur dengan seorang pengidap HIV?" Zian menyingkap rambutnya kemudian mengembuskan napas panjang.
Mendengar ada suatu virus mematikan yang berkembang biak di tubuhmu, awalnya itu hanya membuat Zian terkekeh tak percaya. Toh, dia tidak merasakan apa-apa sebelumnya. Tiga tahun lalu, ya tepat tiga tahun sudah sejak dirinya divonis. Tidak jelas bagaimana perasaan Zian saat itu, tapi ia terlalu cerdas untuk melogikan berapa usia rata-rata seorang pengidap HIV. Merasa sia-sia, tidak berarti dan tidak berguna. Di hadapan cermin, Zian memandangi sosoknya yang baru berusia 24 tahun saat itu.Ia melihat masa mudanya yang ia habiskan dengan penuh kerja keras, lalu ketika ia sampai dititik dimana ia harus menikmatinya, dia tahu bahwa itu tidak akan lama.
"Pasal 115 ayat 1 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, lingkungan rumah sakit merupakan lingkungan yang bebas dari asap rokok. Peraturan rumah sakit nomor 14 tahun 2010, pasien atau keluarga pasien yang kedapatan merokok di lingkungan rumah sakit maka langsung dikenakan denda sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Meskipun bukan saya, saya yakin sudah ada petugas kami yang menjelaskan soal ini."
Suara itu datang dari belakang. Caranya menuturkan, tak selugas isi yang disampaikan. Masih. Zian mengepulkan asap rokok ke udara. Dia menikmatinya, hembusan dari paru-parunya yang tercemar dan ketidakpeduliannya terhadap aturan, juga ketika menjadi superior dengan mengeluarkan tumpukan cash dari dompetnya, "Kurasa ini cukup untuk sementara," katanya.
Zian belum berpaling saat itu. Tapi, ia bisa melihat bayangannya terekam di kaca jendela di hadapannya. "Dia lagi," umpat Zian dalam hati. Pandangannya belum berubah pada perempuan berjilbab yang juga datang padanya kemarin. Dia tetap saja bodoh. Zian mengira perempuan itu usianya tak terlalu jauh di bawahnya, dua atau empat tahun lebih muda. Tapi, jelas dia belum cukup dewasa untuk tidak mengatakan hal yang muluk-muluk terhadap orang yang telah berada di ujung maut. Dokter bisa lebih tegas untuk mengestimasi usia seseorang, dan omong kosong untuk tetap bertahan hidup dengan baik.
"Setidaknya lakukan untuk kebaikan," Zahira bergerak.
Sepersekian detik, Zian tidak tahu apa yang terjadi. Kecuali rasa terkejutnya dan punting rokok yang tak lagi terselip di antara jarinya.
"Akhhh!"
Teriakan itu terdengar.
Puntung rokok yang masih menyala jatuh ke lantai. Spontan Zian menginjak benda itu. Lalu, ia menangkap tangan perawat berjilbab. Tangan yang tak sengaja terkena bara api. "Dimana yang luka?" tanyanya panik sendiri.