Zian dan Zahira

romaneskha
Chapter #6

Chapter 6: Kabur

Beberapa hari kemudian,

Gagang pintu berderak pelan. Zian mengendap keluar kamar perawatan tanpa mengenakan alas kaki. Waktu menunjukkan hampir pukul 03.00 dini hari ketika lampu koridor yang menyala hanya beberapa saja hingga menyisakan beberapa sudut gelap yang misterius. Malam itu jelas sangat tenang, tidak ada kegelisahan akibat rasa sakit, dan para perawat bisa tidur tertelungkup di atas meja, seolah dihipnotis oleh bau-bauan yang memaksa mereka harus terjun dalam jurang mimpi yang menenangkan.

Tempat yang dituju Zian adalah ruang tindakan, tepat berada di samping ruang jaga perawat. Bukan tanpa rasa takut ketika ia harus masuk ke ruangan itu. Rasa takut yang terbentuk bukan karena rumah sakit masih terlalu sepi, hingga frekuensi yang lebih rendah dari makhluk bukan sebangsa manusia bisa dengan mudah menyentuh penglihatannya. Bukan juga karena tempat itu berbahaya. Tapi, di sana, bau darah dan aroma muntahannya sendiri tercium pekat oleh ingatannya. Zian pernah jatuh dalam kondisi depresi. Ia pernah meminta mati. Lalu, menjejalkan puluhan butir obat pereda nyeri menjadi sebuah keharusan. Efeknya tidak langsung, ia bahkan sempat merasa gagal. Hanya enam jam setelahnya, ketika ia merasakan nyeri hebat di perut diiringi mual yang teramat sangat. Cairan merah dimuntahkan dan dalam kondisi setengah sadar Zian di bawa ke ruang tindakan. Ia dipindahkan ke bed hitam. Lampu disorotkan ke wajahnya. Terang dan menusuk. Lalu, dengan sigap perawat memasang selang dari hidung hingga ke lambung. Dari selang itu keluar lebih banyak darah. Otot Zian menegang, serasa dicekik. Nyeri luar biasa. Di kepala, dan sum-sum tulangnya. Aku berhasil. Ia berpikir tentang keberhasilan untuk menempatkan dirinya di ujung pedang malaikat maut. Namun, kemudian batinnya meminta agar ini segera diakhiri. Dan saat ia sadar rasa sakit itu tidak akan berakhir segera, bulir air keluar dari sudut matanya. "Tidak," batinnya bersuara lagi, penyesalan menyapa tanpa tahu datang dari mana. Sesuatu yang membuat batin Zian akhirnya berkata, "Tolong! Selamatkan aku!"

Mungkin perempuan itu benar, Tuhan itu memang ada dan Dia masih mau peduli kepadaku. Di sinilah Zian sekarang, kembali ke tempat paling mengerikan baginya dengan masih membawa napasnya yang kadang memang tersendat. Ada timbangan berat badan di sudut ruangan dan ia berdiri di atas sana.

...

Pasien 406 kabur.

Berita itu menyebar di grup WA ruang perawatan VVIP. Dan keributan yang terjadi di rumah sakit lebih hebat lagi, "Temukan dia! Tidak peduli bagaimana, dia harus kembali ke sini! Memang dia pikir dia siapa? Seenak saja datang dan pergi!" teriak Monalisa.

"Sebenarnya, dok! Dia punya asuransi dari perusahaan. Tanggungannya sampai 5 milyar. Kalau dia kabur pun, kita tidak akan rugi."

"Itu juga aku tidak peduli!" bentak dokter Lisa. "Pokoknya sebelum siang, dia sudah harus kembali! Atau jika tidak, aku bakal ngadu ke bagian manajemen, kalian semua kupindahkan! Masak jaga satu pasien aja nggak becus!"

...

Delima, ruby safir, topaz, giok, zamrud, diamond dan black diamond, setelah dua puluh menit berkeliling dan mengamati, Zian jadi tahu banyak. Bagaimana cara mendapatkan permata kualitas bagus, tidak sekadar menunjuk yang ada di pajangan. Tapi, harus berani bertanya dan sedikit tampang sok ngerti, karena umumnya di sini berlian kualitas tinggi tidak dipajang dan penjual hanya mau mempersuasi orang yang benar-benar memiliki ketertarikan terhadap barang yang mereka tawarkan. Kemudian, penjual akan menyuruh calon pembeli untuk membandingkan kejernihan berlian satu dan berlian lainnya dengan alat yang Zian tidak tahu itu apa. Sekilas hanya seperti kaca pembesar yang didesain lebih kecil.

"Berlian ini ada sertifikat keasliannya. Anda bisa pilih sendiri 'pengikatnya' mau emas putih, emas murni atau perak. "

Meski tak benar-benar mengerti, Zian ikut-ikutan menerawangan berlian yang ditawarkan kepadanya. Di sini, di kota ini, yang gelarannya kota intan, karena memang memilki tambang intan yang kualitasnya bahkan terkenal di seluruh dunia, apakah masyarakatnya sejahtera? Mereka terlihat sama, yang kaya akan tampak kaya, dan sisanya berwajah legam. Dan terlalu banyak kisah sendu saat melihat kondisi tambang sebenarnya. Berkubang lumpur, berpacu dengan lapar, dan berakhir dengan harapan yang tak kunjung tercapai. Bagaimana bisa manusia berharap pada lumpur pekat untuk mensejahterakan hidup mereka. Mendapatkan secercah berlian seperti bermain judi. Tidak jarang, tambang-tambang itu memakan korban. Mereka bilang itu "tumbal" karena si "kakek" penunggu marah. Mereka tidak diumpani. Sementara rumah tinggalnya diacak-acak hingga membentuk kolam-kolam raksasa yang tidak berguna.

Di sini, yang juga bergelar kota santri, yang berilmu agama begitu dihormati. Mereka menjalani hidup sederhana dan lurus. Seperti pasak yang ditanam ke bumi, tugas mereka begitu mulia, untuk menjaga agama tetap kokoh berdiri. Di pasar, bukan hal asing ketika melihat mereka berseliweran dengan sarung tenun, kemeja yang dijahit dan kopiah putih. Harum parfum-parfum import dari tanah Arab tercium pekat dan sepertinya menjadi komoditas yang cukup laris.

Satu lagi yang tertangkap oleh Zian, dia yang bersarung dan berkopiah. Sebenarnya, itu tak cukup menarik. Namun, seseorang yang tampak ramah dan akrab di samping orang itu yang membuat Zian penasaran dan diam-diam curi pandang. Jadi, seperti itu seleranya. Pikirnya langsung pada kesimpulan. Setengahnya menganggap wajar, tapi setengahnya lagi ia justru merasa bodoh untuk menanggapi berlebihan setiap tindakan dan pemikiran Zahira. Tentu saja setiap sentuhan tidak akan berarti apa-apa bagi perempuan berjilbab itu. Tiba-tiba Zian merasa dirinya begitu rendah dan mungkin untuk 0,1% pun Zian tidak akan memenuhi kriteria laki-laki yang diidamkan Zahira.

Zian menoleh lagi, dan segera berpaling ketika sadar bahwa Zahira masih ada di sana. Di jarak sekitar tiga meter di belakangnya. Tidak lama, smarthphone-nya berbunyi. Satu panggilan dari nomor yang tidak dikenal langsung diterima, sekadar untuk menenggelamkan kepanikannya.

"Saya sempat tidak yakin itu Anda!" suara dari ujung telpon yang membuat Zian berpaling.

Zahira menggoyang-goyangkan smarthphone-nya, sebagai sebuah pengakuan bahwa memang ia yang menelpon.

"Dari mana tahu nomorku?"

"Di grup WA ribut. Anda kabur, dan ada perawat yang bakal kena masalah," jelas Zahira apa adanya. Perempuan berjilbab itu meneliti raut wajah pasiennya. Yang sebenarnya tampak lebih baik saat itu. Ia juga terpikir tentang definisi 'kabur' yang diributkan oleh pihak rumah sakit. Zian masih mengenakan seragam berwarna hijau muda bermotif bunga sakura, pakaian yang akan dikenakan setiap pasien di rumah sakit tempat Zahira bekerja. Memang tidak kentara, karena celana jeans hitam dan jaket denim yang juga membalut tubuhnya. Tidak ada koper. Tidak ada juga usaha melarikan diri berlebihan. Harus ada alasan ketika kemudian mereka bertemu, bukan di rumah sakit.

"Mau minum?" tawar Zahira.

Terkesan enggan dan berpikir, Zian akhirnya mengangguk juga.

Meja steinless bulat dengan satu payung di atasnya, menjadi tempat Zian dan Zahira. Meja seperti itu banyak berjejer di pinggiran taman Komplek Pertokoan Cahaya Bumi Selamat bersama puluhan pedagang kaki lima yang menjual minuman dan makanan ringan. Tidak ada yang mereka bicarakan di beberapa menit pertama. Masing-masing berpikir tentang apa yang terjadi di diri mereka. Zahira yang masih menganggap keributan di WA tidaklah terlalu penting. Dan Zian yang hanya ingin membeli oleh-oleh untuk ibunya setelah rasa senangnya hari itu karena berat badan yang sudah naik dua kilo. Laki-laki itu seolah punya harapan untuk pulang ke Surabaya dengan penampakan yang tidak terlalu mengerikan, jadi ibunya tidak perlu banyak bertanya soal keadaannya.

"Habis ngapain?" tanya Zian pada akhirnya, setelah dua minuman dingin tersaji di hadapan mereka.

Lihat selengkapnya