Zian dan Zahira

romaneskha
Chapter #8

Chapter 8: Teman

Buku dihempaskan ke atas meja, suaranya merambat naik ke saraf pendengaran Zian. Mengerikan, karena semuanya serba tiba-tiba, sesuatu yang besar seperti telah menimpa dirinya. Tubuh Zian menegang, ia perlu waktu untuk benar-benar sadar ada di mana. Jendela bening yang menampilkan hari yang cerah, laptop yang masih menyala dan juga pensil yang berserakan.

Ketika menolah agak ke belakang, akhirnya Zian mengerti sepenuhnya. Ada Monalisa di sana, sudah pasti dokter itu yang membangunkan dirinya dengan tidak manusiawi. Beruntung jantungnya masih baik-baik saja saat itu. Itu adalah kunjungan pagi, tidak hanya Lisa yang ada di kamarnya, tapi perawat-perawat lain yang mengikutinya seperti anak ayam. Dan hati Zian lebih dulu terenyuh dengan kehadiran Zahira. Seolah-olah keindahan pagi, cukup diwakilkan dengan kehadirannya saja.

Oh, Zian! Jangan biarkan harapan itu tumbuh, atau ia hanya akan menjadi pisau untuk hatimu. Zian mengusap wajahnya, ia menghela napas berkali-kali.

Kelakuan Zian yang seperti itu, justru membuat Monalisa semakin kesal.

"Eh, Lo kira kami di sini mau ngapain?" rekam medis kembali dihempaskan ke atas meja.

Zian tersentak, tapi tetap bersikap tenang, "Mau periksa, 'kan? Ya udah, periksa aja!"

"Ke tempat tidur sekarang!" perintah Monalisa. "Lo juga nggak nurut. Padahal baru kemarin malam dinasihatin. Lo pikir hidup itu cuman buat kerja dan emangnya punggung lo nggak sakit tidur kayak tadi?"

Sambil menggaruk-garuk kepalanya, Zian beranjak ke tempat tidur. Bingung terhadap dirinya sendiri kenapa masih bisa mentolerir sikap Monalisa yang seenaknya. Dibentak di hadapan banyak orang, harga dirinya hancur.

"Sudah lah, dok! Dokter 'kan bisa nasihatinnya baik-baik. Kalau memang nggak suka aku di sini, aku bisa pergi," sebut Zian dengan nada suara lebih rendah. Meski ada keraguan saat itu, sulit untuknya menemukan dokter yang bisa ia percaya. Monalisa aslinya adalah seorang teman, dia tahu apa yang paling Zian butuhkan tanpa harus Zian banyak bicara. Zian juga harusnya bisa memahami, Lisa berubah menjadi keras, karena Zian memang selalu membangkang.

"Lo mau pergi? Ya sudah, pergi sana!" dokter Lisa mendorong bahu Zian.

Zian yang duduk di atas tempat tidur tidak melawan. Namun, semua yang ada di sana sadar kejadian itu menjadi semakin tidak wajar. Sikap dokter Lisa berlebihan. Mungkin mereka perlu dilerai, para perawat sepertinya sudah siap untuk melakukan itu, meski tarik ulur beberapa kali.

"Lo pikir mudah buat gue? Gue benci rekam medis ini!" rekam medis dilemparkan ke lantai. "Gue benci jas ini!" dengan mata yang memerah Lisa menanggalkan jas putihnya dan melemparkan jas putih itu ke wajah Zian. "Dan yang paling gue benci adalah lo!" Lisa mencengkram kerah baju Zian. Segalanya sepertinya tak tertahankan bagi Lisa, perempuan itu tersedu seperti anak kecil.

Terpaksa Zian berdiri. "Bisa kalian keluar sebentar!" pintanya pada orang-orang yang berada di belakang Monalisa.

Sebagai teman, seharusnya Zian menyediakan bahunya untuk Lisa menangis, dan ia gunakan tangannya untuk mengusap pipi yang telah basah. Namun, sekali lagi, Zian merasa dirinya begitu kotor. Sedikit sentuhan akan bisa melukai orang lain. Pikiran yang mungkin bertentangan dengan teori, tapi tetap dipelihara baik oleh Zian sebagai upaya untuk melindungi orang lain.

"Hey, sudah! Aku minta maaf!" bisik Zian.

Tidak mengerti apa yang ada di pikiran Monalisa, perempuan itu melingkarkan tangannya ke pinggang Zian dan terisak hebat di dada Zian.

"Aku yang salah, aku benar-benar minta maaf!" ulang Zian.

"Gue cuman berharap lo bisa sehat. Jangan bikin orang khawatir terus," ucap Lisa di antara isakannya.

Zian mengangguk, tapi tetap tidak mengerti dari mana asal harapan yang tinggi itu. Padahal ia orang yang lebih mengerti soal teori penyakit. Tapi, jelas, bukan itu pointnya. Yang ia dengar adalah cerminan perasaan yang berubah menjadi kepingan. Rasa sakit hati yang telah lama dipendam dan meluap ketika itu. Tangis terbata-bata dan tidak akan segera berakhir, membuat Zian merasa perlu menepuk lembut punggung Monalisa. Berharap sentuhan itu mampu mencairkan hatinya yang terasa sakit dan sedikit membuatnya merasa lebih lega.

...

Dua jam kemudian,

Selesai makan siang, Zian naik ke roof top rumah sakit dengan sebotol air mineral, pematik api dan kotak rokok yang isinya tinggal beberapa saja. Di antara kepulan asap yang segera tersapu oleh angin, Zian masih mempertimbangkan untuk mencari dokter lain saja. Ia kira, Lisa terlalu terbawa perasaaan untuk kasusnya kali ini dan itu hanya akan membuat Lisa terlihat buruk.

Lihat selengkapnya